Oleh Herman RN
Tubuhnya gemetar. Perlahan tangan perempuan itu bergerak, menyusuri lekuk-lekuk batu tanah gundukan di hadapannya. Tangannya yang sebelah lagi meremas-remas tanah. Badannya kian bergetar hebat tatkala ia berusaha menahan air yang nyaris melabrak kelopak matanya.
”Ibu, apa karena kita perempuan?” lirihnya.
Gadis itu menghela napas. Kamboja, demikian namanya. Ia anak tunggal. ”Ibu, kau sudah melahirkanku dalam keadaan susah payah. Saat itu kita harus mengungsi karena kampung kita didatangi kelompok bersenjata. Orang-orang kampung kita pun diklaim sebagai pemberontak. Ibu lari terbirit-birit sambil membawaku dalam perut ibu. Begitu cerita yang kudengar dari Nek Mah, bidan kampung kita,” ucapnya sambil menahan tangis.
Kamboja dilahirkan dalam hutan di pinggir kampungnya. Saat itu, mereka mengungsi hingga empat puluh hari. Ia lahir pada hari kelima di pengungsian. Saat itu, ibu Kamboja ditolong oleh Nek Mah, seorang perempuan setengah baya yang sebenarnya bukan bidan, pun bukan dokter. Kebetulan Nek Mah pernah diajarkan sebuah isim* oleh orangtuanya. Isim itu disebut seulusoh* dalam bahasa mereka. Dengan keahlian seulusoh itulah, Nek Mah membantu ibu Kamboja melahirkan. Kamboja lahir sungsang. Kakinya lebih dahulu menonjol, baru kemudian kepala.
”Ibu, kata Nekmah, ibu sangat kesakitan ketika melahirkan aku. Perut ibu serasa dililit akar. Perih. Nek Mah pula yang mengatakan kalau perih ibu ditolong dengan daunmariam. Ibu, bisa kubayangkan menderitanya ibu saat itu. Aku yang lahir sungsang, ibu yang kesakitan. Sedangkan ayah? Ibu….”
Kamboja masih berusaha menahan tangis. Tubuhnya bergetar semakin kencang. Tangan kanannya terus menelusuri lekuk batu nisan di tanah gundukan di hadapannya. Tangan kirinya semakin kuat mencengkeram tanah di sampingnya.
”Aku tak bisa menyalahkan ayah, Ibu. Ayah memang meninggalkan ibu, meninggalkan kita. Tapi, ayah terpaksa. Kaum laki tak boleh hidup di kampung kita waktu itu. Semua lelaki lari dan bersembunyi. Makanya banyak yang memilih bergabung dengan kelompok pemberontak. Perempuan diminta untuk di rumah, jika tak mau mengungsi ke hutan. Aku tahu itu, Ibu. Hanya saja, mengapa kita tidak boleh ikut melawan, Ibu? Apa karena kita perempuan?”
Kamboja akhirnya tidak dapat menahan air matanya. Ia sesenggukan. Bening yang telah lama mengambang itu pecah juga dari balik kelopak matanya yang berbulu lentik. Satu per satu bening itu jatuh menimpa pinggiran nisan ibu Kamboja.
”Ayah mati terkena peluru nyasar. Tepat sehari sebelum perjanjian damai antara pemberontak dan pemerintah. Apa salah ayah? Ah, terlalu sulit memberi alasan antara salah dan benar di kampung ini, Ibu. Mengapa terlalu cepat ibu tinggalkan aku?”
Kamboja menjatuhkan kepalanya di batu nisan tersebut. Beberapa kali ia benturkan kepalanya ke batu itu. Ia bisikkan sesuatu di sana. Suaranya pelan. Hampir tak terdengar di antara angin siang yang sedikit kencang.
”Ibu, jika setelah berbaring pun ketenanganmu mesti terusik, katakan pada Tuhan, biarkan aku yang menggantikan kau di sini,” lirihnya.
Lama Kamboja diam setelah mengucapkan kata-kata itu. Tubuhnya masih bergetar, kendati matahari sudah di puncak kepala. Kamboja mandi keringat. Namun, sedikit pun ia tak menyeka keringat itu. Ia bahkan nyaris melupakan letak kerudungnya yang melorot ke pundak. Rambutnya yang biasa tersimpan rapi di balik kerudung itu mulai tampak. Angin pun membelai rambut hitam keriting itu.
”Ibu, bagaimana lagi caranya mengatakan kepada mereka tentang penderitaanmu, penderitaan kaum perempuan? Lihat, Ibu! Kau besarkan aku tanpa ayah. Kau bekerja upahan untuk memberiku makan. Kau sekolahkan aku hingga tingkat menengah. Kau pula yang mengajarkan aku agar hidup tak mudah menyerah.”
Kamboja berhenti sejenak. Ia tengadah ke langit. Sinar matahari tepat menghunjam retina mata Kamboja. Ia tak berkedip. Hanya memicingkan mata sedikit.
”Tuhan…,” suara Kamboja setengah menjerit. ”Apalagi yang akan kau timpakan kepada kami? Tidak cukupkah derita masa hidupnya? Setelah ia berbaring di tanah-Mu, apakah harus diusik juga? Jawab, Tuhan? Bukankah kau Maha Mendengar?! Mengapa Kau diam? Nanti atau besok, tanah ini akan diratakan, di mana aku harus menempatkan ibuku? Tak cukupkah masa perang tanah air kami dirampas? Di mana Kau Tuhan saat kampung kami dalam perang? Di mana pula Kau saat sudah damai?”
Kamboja sesenggukan. Ia bersimpuh di hadapan nisan ibunya. Lehernya menekuk. Kepalanya nyaris menyentuh lutut. Tubuhnya masih terus bergetar. Isaknya pun mulai deras.
”Ibu, bagaimana caranya aku mempertahankanmu? Besok pagi, tempat peristirahatanmu ini akan diratakan. Kau ingat dulu waktu kampung kita berkecamuk? Orang-orang kampung berperang dengan tentara pemerintah. Kini, tentara pemerintah pula yang akan menjarah rumahmu ini, Ibu.”
Dua pekan lalu, rombongan dari kabupaten mendatangi kepala kampung tempat Kamboja tinggal. Mereka membicarakan soal pembangunan hotel berbintang yang akan didirikan di kampung itu. Menurut berita, hotel itu akan dibangun dengan standar internasional. Ada mal juga nantinya di dalam hotel tersebut. Untuk itu, akan terjadi pembebasan tanah. Salah satu lokasi yang mendapat imbas pembebasan tanah adalah kompleks pemakaman umum korban konflik. Di sanalah ibu Kamboja dan sejumlah janda konflik dimakamkan. Menurut investor, lahan pekuburan massal itu sangat strategis untuk dibangun hotel mahamegah.
”Ibu, sampai saat ini aku tidak tahu di mana ayah dikuburkan. Mayatnya pun tak ada yang menemukan. Ibu dimakamkan di sini sebagai janda konflik. Ibu adalah ibu sekaligus ayah bagiku. Dulu, mereka (pemerintah—Pen) yang membuat lokasi pemakaman di sini. Alasannya, dekat dengan kompleks pemakaman pahlawan masa Belanda. Kini, mereka pula yang akan menggerus pemakaman ini, Ibu. Pemerintah itu tidak punya otak, Ibu. Mereka hanya memikirkan uang, uang, dan uang.”
Tangis Kamboja semakin menjadi. ”Ke mana ibu akan kubawa? Kita tak punya apa-apa lagi. Apa Ibu harus kubawa ke kota tempatku sekarang? Di kota, aku menyewa rumah kontrakan sederhana sambil melanjutkan sekolah. Aku sekolah ke kota demi Ibu. Ibu yang mengatakan bahwa perempuan juga harus punya cita-cita, harus sekolah tinggi. Kata Ibu, aku harus sekolah hingga ke universitas. Dari jauh aku selalu berdoa agar Ibu bisa istirahat dengan tenang di kampung kita. Setiap libur sekolah, aku selalu menjengukmu. Jika esok hari pemakaman ini akan diratakan oleh pemerintah demi gedung bertingkat, ke mana lagi aku akan melihat Ibu saat libur semester nanti?”
Kali ini Kamboja terdiam lebih lama. Ia berusaha mengatur napas. Ia tatap bagian kepala nisan ibunya. Lalu tatapannya berpindah ke bagian badan. Selanjutnya ke batu di bagian kaki. Lama tatapan itu berhenti di sana.
Kamboja bangkit, menuju bagian kaki ibunya. Ia duduk perlahan. Kedua telapak tangannya menyentuh batu nisan itu. Lalu, kepalanya ia tundukkan agar dapat mencium nisan di kaki ibunya.
”Ibu, terimalah sembah sujudku. Ampuni segala ketidakberdayaanku. Aku berjanji akan berusaha mempertahankan Ibu walau mungkin itu mustahil. Di tempat ini, bukan hanya
ibu dikuburkan. Masih banyak korban konflik lainnya. Mustahil memang bagiku untuk mempertahankan Ibu sendiri, sedangkan keluarga korban lainnya sudah menerima uang pembebasan tanah ini. Mereka telah menjual ayah ibunya yang dimakamkan di sini. Mereka lebih memilih setumpuk uang dari pemerintah tanpa menyadari orangtuanya di sini akan dipijak-pijak, akan diluluhlantakkan dengan mesin penggiling.”
Kamboja mengangkat kepala. Dipandanginya nisan ibunya dengan garang. Tatapannya nyalang. ”Aku tidak akan menjual Ibu kepada pemerintah atau kepada siapa pun. Meski aku harus mati di sini, aku tetap akan mempertahankan Ibu.”
Kamboja kembali menangis, tapi kali ini suaranya memelan. ”Ibu, ajari aku bagaimana caranya melawan pemerintah? Aku tidak punya senjata, Ibu!”
Perlahan terdengar suara langkah kaki mendekat. Sayup-sayup ada yang bicara.
”Di sinilah akan kita bangun hotel itu, Pak. Luasnya seribu meter persegi, hingga di pojok sana,” ucap sebuah suara penuh semangat.
”Di situ? Bukankah itu kompleks pemakaman?” suara parau menyela.
”Benar, Pak. Tapi, Bapak tenang saja. Semua sudah diatur. Izin penggunaan lahan pemakaman ini sudah diurus. Semua orang yang punya hubungan kekerabatan dengan yang dimakamkan di sini sudah didatangi. Mereka mendapatkan haknya. Semua sudah beres, Pak.”
”Pemakaman apa itu?”
”Pemakaman korban konflik, Pak.”
”Hm…, apa tidak berbahaya nantinya mendirikan hotel di atas makam, makam korban konflik pula? Pasti ada yang mati berdarah di sini.”
”Ah, Bapak ini ada-ada saja. Mana ada orang mati bisa hidup lagi.”
Kamboja bangkit. Dari makam ibunya, ia berteriak. ”Siapa pun kalian, menghormati hak-hak orang yang masih hidup itu memang susah, apalagi rakyat kecil. Namun, menghormati ketenangan orang yang sudah mati, apakah juga tidak kalian miliki? Di mana nurani kalian? Di sini terkubur saksi kezaliman masa konflik. Apa kalian mau mereka jadi saksi kezaliman kalian di hadapan Tuhan?”
”Siapa dia?”
”Dia, Pak? Dia kayaknya orang gila. Sudah tiga hari dia menangis terus di makam itu.”
Kamboja mendekati orang tersebut. ”Ya, saya sudah gila. Saya gila karena mempertahankan hak-hak orang mati. Makam ini adalah rumah mereka yang telah istirahat dengan tenang. Saya gila karena menginginkan ketenangan mereka. Sedangkan kalian, gila karena ingin hotel megah tanpa melihat penderitaan orang lain.”
Lelaki yang sedari tadi disapa ”bapak” berbalik meninggalkan lokasi pemakaman. ”Anda bilang semua sudah beres. Kasus makam ini ternyata belum selesai,” ujarnya sembari meninggalkan tempat itu.
Darussalam, 2012-2013
Ilustrasi Karya : Jitet Kustana
Terbit di Harian Kompas pada 5 Januari 2014
Sumber : cerpen.print.kompas.com | Google.com
Sumber : cerpen.print.kompas.com | Google.com
No comments:
Post a Comment