Friday, April 8, 2016

Wanita dan Semut-semut di Kepalanya [Cerpen Kompas]




Oleh Anggun Prameswari

Sungguh, tidak ada yang paham rumitnya isi kepala wanita itu. Termasuk sang suami yang mengencaninya selama enam tahun, lalu menikahinya selama enam tahun pula. Konon, pria itu tak kuat lagi menghadapi pikiran istrinya yang selalu rumit. Ia angkat kaki setelah ribut besar dan berkata lantang sekali sampai sepenjuru gang mendengarnya, ”Otakmu yang rumit itu, suatu hari akan habis dimakan semut-semut.”

Para tetangga pun mulai bertaruh, apakah wanita itu akan merutuki nasibnya, atau kalap mencari suaminya ke sepenjuru kota; jika perlu mengetuk tiap pintu, atau mulai bertingkah tak waras. Namun, ia tetap melanjutkan hidup seperti tak terjadi apa-apa. Ia berangkat sebelum matahari terbit dan pulang sebelum senja; bekerja sebagai pustakawati di universitas swasta. Setiba di rumah, ia menyeduh teh serai lalu duduk di beranda untuk membaca buku. Tepat jam sembilan malam, ia akan masuk, mengunci pintu, dan mematikan lampu-lampu. Di hari Minggu, ia pergi ke pasar membeli bahan makanan layaknya istri pada umumnya. Lelah menerka, akhirnya mereka pun berhenti bertaruh.

Sayangnya, semua berubah saat ia menemukan sepucuk surat yang lupa diambil dari kotak di dekat pagar. Pembantunya, yang memang cuma datang dua jam di pagi hari untuk cuci-seterika, mencuri pandang saat wanita itu membuka amplop dengan tangan bergetar hebat. Majikannya menatap kosong ke arah kertas, seakan matanya tengah mengunjungi tempat yang jauh.

”Bu, kok, pucat begitu?” dikumpulkannya nyali untuk bertanya.

”Bik, bagaimana caranya membunuh semut?”

”Hah?”

”Kudengar ada kapur ajaib yang bisa mengusir semut?”

Pembantu itu makin bingung.

”Belikan selusin. Ah jangan, dua lusin saja.”

”Banyak betul. Buat apa?”

”Mengusir semut, untuk apa lagi. Sebelum mereka makan habis otakku.”

Dengan bingung yang bertindihan, ia bergegas menuju warung. Dilihatnya sang majikan melipat surat itu kecil-kecil sembari menatap-jelajah seluruh sudut rumah; seakan ada yang dicari. Pembantu itu sontak teringat sesuatu saat menutup pintu pagar; kalimat penuh amarah suami majikannya selepas bertengkar, ”otakmu yang rumit itu, suatu hari akan habis dimakan semut-semut.”

Wanita itu baru sadar, ternyata di rumahnya ada semut. Awalnya satu. Esok jadi dua. Lusa jadi berlipat banyaknya. Ia lihat semut-semut itu berjajar beriringan dalam selengkung garis di dinding teras rumah. Novel Haruki Murakami di pangkuan tak lagi menggugah seleranya. Ia mendekatkan pandangan, mengamati benar-benar.

Semut-semut merah berpapasan, lalu kembali berjalan, berpapasan lagi, begitu seterusnya. Dari lubang kecil di batas taman dan lantai teras, barisan semut itu mengular sampai ke lubang kecil di dekat kusen.

Dalam hatinya bertanya, lubang sekecil itu, mana bisa menampung semut sebanyak itu. Apa pula yang mereka katakan saat berpapasan. Apa mereka bertukar kabar atau sedang membicarakan dirinya, yang terlampau khusyuk mengamati koloni semut. Wanita itu terus berjongkok bak profesor peneliti tingkah laku semut. Lupa pada senja yang beranjak. Tuli pada kasak-kusuk tetangganya yang keheranan.

Mendadak ia teringat murka suaminya yang membahana ke mana-mana saat itu. Ia berlari mengambil kapur ajaib. Digoreskannya melintang pukang di jalur masuk rumahnya. Semacam mantra ajaib yang Sri Rama guratkan mengelilingi tanah pijakan Dewi Shinta, agar tak ada yang bisa menculiknya.

Sekilas ia tersenyum lega. Malam ini tidurnya bisa nyenyak. Namun, tak lama ia sadar. Bukankah akhirnya Dasamuka berhasil menembus lingkaran perlindungan dan menculik Shinta? Kengerian menjalari tengkuk, seakan semut-semut merah itu mencari jalan menembus tengkoraknya. Bersiap memakan habis otaknya.

Semalaman, wanita itu tidak tidur. Dibeliakkannya mata lebar-lebar. Mencari lubang setusukan batang jarum di sudut tersembunyi rumahnya yang bisa dijadikan celah masuk semut.

Ia pun tak peduli lagi saat tetangganya bulat menyimpulkan; kesepian telah memakan habis kewarasannya.

Semut-semut itu terus berbaris entah mana ujung dan pangkalnya. beranda, dinding belakang rumah, dinding dapur, bahkan di dekat jendela kamarnya, sudah takluk dikepung semut.

Ia suruh pembantunya menyapu dua kali lebih sering. Tak lagi ia menyimpan kue untuk mengudap. Ia juga mulai makan di taman depan, agar tak ada sisa makanan berjatuhan di dalam rumah. Tak dipedulikannya tatap iba yang makin kentara, tiap kali ia suapkan makanan ke dalam mulut. Saat ditanya kenapa makan di luar, ia menjawab, ”Di dalam banyak semut.”

”Apa hubungannya?”

”Nanti aku dikerubungi semut.”

”Masa takut sama semut?”

”Pernah hitung berapa ekor semut di dalam sana? Mungkin ada lebih dari sejuta. Aku bisa dikerubungi! Bisa habis otakku dimakan,” bisiknya sambil melahap lauk terakhir. Sorot matanya tajam dan dalam. Tetangganya memilih pergi sambil menggelengkan kepala.

Ia pun balik melawan. Dikerahkan segala resep alami pengusir semut yang ditemukannya di internet. Ada larutan cuka, potongan mentimun, kantong teh mint bekas, jus lemon, air sabun, larutan garam, sampai taburan bubuk kopi dan bedak bayi. Sayang, semuanya berkhasiat sementara. Di ujung hari, iring-iringan semut bertambah panjang, semakin rapat.

Terlampau kesal, ia membeli sebotol obat serangga. Tanpa peduli lagi, diarahkan penyemprotnya, mirip bazooka membombardir ke segala arah. Titik-titik cairan menghujani dinding-dinding, meninggalkan pola basah. Semut-semut itu akhirnya menempel tak bergerak di dinding. Melihat itu, ia makin kalap menggerakkan tangan, menyemprot seisi rumah. Aroma obat membubung, membekap jalur udara. Ia tak peduli. Yang penting mereka mati, tak bersisa lagi.

Tak dinyana, tepat tengah malam, garis-garis yang dibentuk dari barisan semut muncul kembali. Seakan mereka bangkit dari kematian, membawa pasukan lebih banyak. Setengah tercekik aroma obat serangga, wanita itu terkulai lemas. Terduduk dengan mata yang panas. Lelehlah segala kelelahan yang ia simpan kuat-kuat di dada.

Andai suaminya ada di sini. Lelaki itu pasti tahu bagaimana mengatasi ini semua. Semut-semut ini, juga kesepiannya.

Akhirnya ia berhenti berperang. Ia biarkan semut-semut itu merambati dinding rumah. Makin banyak saja yang bertandang. Semut dari rumah sebelah, rumah sebelahnya lagi, dan taman depan kompleks. Bahkan, semut-semut di kantornya ikut datang ke rumah. Sengaja ia tebarkan butir-butir gula agar mereka betah, beranak pinak, menemaninya di rumah yang terasa makin sepi setelah pembantunya meminta berhenti karena tak tega melihat majikannya makin gila.

Ternyata semut-semut itu memahaminya. Mendengarkannya bercerita. Persis suaminya. Pria itu begitu perhatian, telaten mendengarkannya. Satu-satunya yang bertahan di sisinya, menghadapinya, meladeninya.

Pria itu lelaki sederhana. Ia wanita rumit yang jatuh cinta padanya. Tiap ia membuat isi kepalanya semrawut entah oleh apa, pria itu cepat-cepat menyederhanakannya. Dengan pelukan dan ciuman. Seakan bibir pria itu mengandung xanax yang segera mengurai kegelisahannya yang mirip buntal benang wol.

”Kalian tahu, aku mencintainya,” ujar wanita itu lirih serupa embus angin. Semut-semut itu hening mendengarkan. ”Aku merindukannya. Ia suka sekali memelukku dari belakang sampai aku jatuh tertidur.”

Tak ada jawaban. Hanya ada derap kaki-kaki semut.

”Suatu hari, ia bilang ia lelah. Katanya aku terlalu rumit. Padahal, aku cuma bertanya, apa jadinya kalau suatu hari ia bertemu wanita yang mirip dirinya. Sederhana. Tak banyak bertanya. Jarang mengkhayal. Tak gemar menumbuhkan cerita-cerita di kepala, tentang kemungkinan-kemungkinan, juga perkiraan. Apakah ia akan jatuh cinta pada wanita itu? Apa ia akan berpaling? Kalaupun meningggalkanku, apa ia masih akan merindukanku? Diam-diam membayangkanku saat bercinta dengan wanita itu.”

Kini dinding tak terlihat lagi warnanya. Rata dipenuhi semut-semut yang berdatangan dari pelosok negeri. Mendengarkan dongengnya sembari mengudap butir gula dan remah makanan yang sengaja ia tebarkan.

”Awalnya ia tak menjawab, tapi aku bersikeras. Bukankah wanita sederhana itu selalu ada? Mungkin lebih banyak di mana-mana. Aku bilang kepadanya, ia tampan dan pintar. Perempuan kelak mendatanginya, satu demi satu, lama-lama jadi seribu, mengerubunginya seperti semut mengepung gula-gula. Aku harus yakin bahwa ia akan tetap mencintaiku. Aku terus saja bertanya, sampai akhirnya ia lelah. Pergi dan menyumpahi otakku habis dimakan semut.”

Wanita itu terkekeh. Matanya nampak lelah. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju kamar dan merebahkan tubuh. Semut-semut itu mengikutinya, melapisi perabotan dan setiap permukaan rumah, seakan semua ditutup beledu merah kehitaman.

”Mungkin wanita sederhana itu benar-benar ada. Bisa jadi karena itulah ia pergi. Bukan karena ia lelah mencintaiku. Bagaimana menurut kalian?”

Semut-semut merangsek merambati ranjang.

”Atau mungkin ia bukannya menyumpahiku. Mungkin ia berdoa aku tak lagi rumit. Menjadi lebih sederhana agar lebih mudah dicintai. Kalian setuju?”

Mereka terus naik ke tubuhnya. Ujung kaki, ujung tangan, rambut, perut, entah bagian manalagi yang tersisa.

”Boleh kuminta tolong, maukah kalian habiskan isi otakku yang rumit?”

Esok hari, kompleks itu gempar. Tubuh seorang wanita kesepian ditemukan tak bernyawa. Aroma busuk makanan yang sengaja disebar berbaur dengan uap obat serangga yang memenuhi rumahnya.

Suara-suara tetangga yang membubung sekejap diam saat sesosok tiba di rumah berpenghuni malang itu. Entah sudah berapa bulan lelaki itu tak muncul. Sejak ribut besar dan menyumpahi istrinya dengan lantang.

Wajahnya pucat. Dalam hati ia mengumpat, andai waktu itu ia tak mengirimkan surat gugatan cerai. Andai ia tak menyumpahinya. Andai ia tak lelah mencintai wanita berpikiran rumit itu. Ah tidak, andai sejak awal ia tak jatuh cinta kepadanya.

Ia memeluk istrinya terakhir kali. Ujung jari wanita itu menggenggam surat gugatan cerai yang lusuh karena terlalu sering dipegang. Tertahan, isaknya menyayat hati. Saking merananya, lelaki itu tak menyadari tak ada seekor semut pun nampak di dinding rumah itu.

*Ilustrasi Karya : Putri Fidhini
*Terbit di Harian Kompas pada 2 Maret 2014


No comments:

Post a Comment