Wednesday, June 22, 2016

Bahan Makalah Nur Al-Din Al-Raniri (dari buku Azzumardi Azra) bagian 1


Nur Al-Din Al-Raniri (w. 1068/1658)

Dua dari tiga mata rantai ualma dari jaringan ualma di wilayah melayu-indonesia, yaitu yang berawal dari Al-Raniri dan Al-Sinkili, berkembang di Kesultanan Aceh, sementara perntis lain, Al-Maqassari, dilahirkan di sulawesi dan memulai karirnya di benten, Jawa Barat.

Perwujudan sosio-politik islam di Nusantara sebagai altar belakang umum bagi gerakan pembaharuan, Azzumardi menyebutkan pentingnya Aceh atau wilayah utara Sumatra secara keseluruhan dalam sejarah awal Islam. untuk memahai konteks gerakan pembaharuan Al-raniri secara spesifik, akan lebih baik bila sebelumnya dipaparkan sejarah para ilmuan yang dominana pada masa sebelum Al-Ranini, hal ini kemudian menutun kita kepada dua ulama utama, Hmazah Al-Fansuri dan Syams Al-Din Al-Samatranai, yang memainkan peran penting dalam membtunk pemikiran dan praktik keagamaan kaum muslim melayu-indonesia pada paruh pertama abad ketujuh belas.

Meski dari warta turun temurun dua tokoh diatas dikenal masyukur, banyak hal menyangkut kehiudpan Hamzah dan Syams Al-din masih tetap kabur dan, karenya problematis. misalnya mengenai perbedaan pendapat dalam hal tahun dan tempat kelahiran Hamzah Al-Fansuri serta rentang masa hidupnya, sebab tahun kelahirnan dan kematinaya sebenarnya tidak diketahui pasti. sekalipun demikian, ada bukti bahwa dia hidup dan berjaya pada masa sebelum dan selama pemerintahan sultan 'Ala' Al-Din Ri'ayat Syah (berkuasa 997-1011/1589-1602); diperkiran dia meninggal sebelum 1016/1607. lepas dari hal ini, jelas Hmazah adalah seorang Melayu dari fansur, pusat pengetahuan Islam lama di Aceh Barat Daya.

Hamzah jelas seorang ulama besar. dia diriwayatkan, melakukan perjalalan ke Timur Tengah, mengunjungi beberapa pusat pengetahuan Islam, termasuk Makkah, Madinah, Yerusalam, dan Bagdad, di mana dia diinisiasi ke dalam tarikat Qadariyyah. Dia juga dilaporkan melakukan melakukan perjalalan ke Pahang, Kedah dan Jawa, dimana dia menyebarkan ajaran-ajarannya. Hamzah penulis produktif, yang menghasilkan bukan hanya risalah-risalah keagamaan tetapi juga karya-karya prosa yang sarat dengan gagasan-gagasan mistis. mengingat karya-karya, dia dianggap sebagai salah seorang tokoh sufi awal paling penting diwilayah Melayu-Indoneisa dan juga seorang perintis terkemuka tradisi kesusastraan Melayu.

Sifat hubngan Hamzah Al-Fansuri dengan Syams Al-din (w. 1040/1630) juga tidak jelas. kebnayakan ahli berpendapat, merka bersahabat. ini menyiratkan semacam hubungan guru-murid, seperti dikemukakan Hasjmi dan Abdullah; keduanya menegaskan, Syams Al-Din dan Hamzah sangat mungkin bertemu. Sir James Lancaster, utusan khusus Inggris untuk Aceh 1011/1602, mengatkaan, bahwa dia membicarkan perjalalan perdamaian dan persahabatan antara Inggris dan Aceh dengan dua tokoh terkemuka yang ditujuk Sultan 'Ala Al-Din Ri'ayat Syah sebagai wilayahnya.

Salah seorang dari keuda tohoh termuka ini adalah "Chiefe bishope" ("uskup kepala") wilayah itu; orang yang sangat dihormati, sebab dia adalah orang yang sangat bijaksana dan tenang. yang lain adalah seorang bangsawan sangat kuno, orang yang memang berbobot namun tidak cocok untuk mengikuti pertemuan-pertemuan sebagai sang "uskup" (Bishop). Dan seluruh pertemuan berlangsung dalam bahasa Arab, yang sangat difahami baik oleh sang "uskup" maunpun tokoh bangsawan yang satunya lagi.
Schrieke dan Hasjmi menyatakan bahwa, chiefe bishope ("uskup kepala") itu adlaah Hamzah Al-Fansuri, Sebabg dia, pada masa itu, telah menjadi tokoh menonjol. Can Nieuwenhuijze dan Iskandar, sebaliknya, berpendapat, bahwa "chiefe bishope"itu adalah Syams Al-Din. Pendapat pertama tampaknya lebih masuk akal, sebab Syams Al-Din pada masa itu sedang berada pada pertengahan kariernya; baru setelah di bawah Sultan berikutnya, yaitu Iskandar Muda, dia menjadi "chiefe bishope"/ seperti Hamzah, Syams Al-DIn adalah penulis produktif dan menguasai beberapa bahasa. Dia menulis dalam bahasa Melayu dan Arab dan sebagaian besar karya-karyanya berkaitan dengan kalam dan tasawuf. tetapi berbada dengan Hamzah, dia tidak pernah menulis puisi misits.

Hamzah dan Syams Al-Din dikategorikan termasuk dalam aliran pemikiran keagamaan yang sama. Azzumardi mengatakan, keuda tkoh tersebut merupakan pendukung terkemuka penafsiran mistiko-filosofis wahdat al-wujud dari tasawuf. Keduanya sangat dipengarhui terutama oleh Ibn 'Arabi dan Al-Jili, dan dengannya, menjelaskan alam raya dalam pengertian serangkaian emanasi-emanasi neo-Platonis dan menganggap setiap emanasi sebagai aspek Tuhan itu sendiri. ini merukapan konsep-konsep inti yang mendorong para penentang mereka, Al-Ranini paling menonjol di antara mereka, untuk menuduh merkea sebagai panteis dan, karenanya, sesat.

Sepanjanjang menyangkut tuhduhan ini, para ahli terbagai kedalam dua kelompok. Winstedt, Jhons, Niewenhuijze, dan Baried berpendapat bahwa ajaran-ajaran dan doterin-dokterin Hamzah dan Syams Al-Din adalah "sesat" (heretical) dan "menyimpang (hetetorox). oleh karna itu, mereka menjadi tokoh-tokoh sufi ortodoks seperti Al-Raniri dan Al-Sinkili. Di lain pihak, Al-Attas menyatakan bahwa ajaran-ajaran Hamzah, Syams Al-Din dan Al-Raniri pada dasarnya sama'; kita tidak dapat menggolongkan kedua tokoh pertama sebagai orang-orang sesat. Al-Attas, pada girliranya menuduh Al-Raniri melakukan distori atas pemikiran Hamzah Al-Fansuri dan Syams Al0din serta melancarkan "kampanye fitnah" menentang mereka. Sekalipun demikian Al-Attas tampaknya mengubah tafsirnya atas Al-Raniri dalam bukunya yang lebih baru, di mana dia memuji Al-Raniri sebagai "orang yang dikarunai kebijaksanaan dan diberkati dengan pengetahuan otenktik," yang berhasil menjelaskan dokterin-dokterin keliru dari para ulama Wujudiyyah dan disebutnya " sufi-gadungan " (pseudo-suf).

Berdasarkan pemaparan singkat diatas, periode masa sebelum kedatangan Al-Raniri pada 1047/1637 merupakan masa di mana Islam mistik, terutama dari aliran Wujudiyyah berjaya bukan hanya di Aceh tetapi juga dibanyak bagian wilayah Nusantara. Meski ada usaha-usaha untuk menerapkan persepsi syariat, sebagaimana dibahas diawal, dokterin dan praktik mistis---ciri paling menonjol dari Islam Melayu-Indonesia sejak masa awal---tetap meberjaya. Tulisan-tulisan Hamzah dan Syams Al-Din memberi daya dorong lebih jauh pada kecendungan ini. Dengan kedudukan mereka sebagai Syaikh Al-Islam Kesultanan Aceh, mereka dapat menyebarkan pengaruh sangat besar. Semua sumber, lokal maupun asing, sepat bahwa kedua ulama itu menguasai kehidupan religio-intelektual kaum Muslim Melayu-Indoneisa sebelum kebangkitan Al-Raniri.

Halaman  1 -----> Klik disini Untuk Baca Halaman 2

No comments:

Post a Comment