PENDAHULUAN
Sebelum kita mempelajari hadits, baik mengenai mufradat
(makna kata) nya, maupun mengenai tarakib
(susunan kalimat) nya; sebelum kita memahami dalalah (petunjuk) nya serta hikmah
yang dikandung di dalamnya dan sebelum kita meninjau persoalan-persoalan yang
telah di istidlalkan (ditunjukkan)
oleh para ahli, maka alangkah baiknya kita mempelajari walaupun secara ringkas,
beberapa persoalan penting dalam ilmu hadits, seperti: al-Sabiq wa al-Lahiq (dua orang rawi yang sama-sama meriwayatkan
hadits dari seseorang. Kemudian salah seorang dari mereka meninggal lebih
dahulu dengan selang waktu cukup jauh), al-Muttafiq
wa al-Muftariq (satu nama, nasab, dan sebagainya yang dipakai oleh lebih
dari seorang perawi), dan al-Mu’talif wa
al-Mukhtalif (nama atau nisbat yang tulisannya serupa tetapi bacaannya
berbeda).
II.
POKOK
PEMBAHASAN
1. As-Sabiq
wa al-Lahiq
2. Al-Muttafiq
wa al-Muftariq
3. Al-Mu’talif
wa al-Mukhtalif
III.
PEMBAHASAN
A.
As-Sabiq
wa al-Lahiq
Secara
etimologi as-Sabiq artinya yang
mendahului, yang terdahulu, yang lewat, sedangkan al-Lahiq artinya yang mendapati, yang berhubungan, yang menyusul.[1]
Menurut istilah as-Sabiq wa al-Lahiq
adalah dua orang rawi yang sama-sama meriwayatkan hadits dari seseorang.
Kemudian salah seorang dari mereka meninggal lebih dahulu dengan selang waktu
cukup jauh.[2]
Penjelasannya:
Apabila dua orang rawi yang pernah bersama-sama menerima hadits dari seorang
guru, kemudian salah seorang dari padanya meninggal dunia, maka riwayat yang
disampaikan oleh rawi yang meninggal mendahului kawannya itu disebut Riwayatu al-Sabiq, sedang riwayat yang
disampaikan oleh orang yang terakhir meninggalnya disebut Riwayatu al-Lahiq.[3]
Contohnya
adalah riwayat Zuhri dari Imam Malik, muridnya. Zuhri meninggal tahun 124 H.
kemudian ada rawi lain, yaitu Ahmad bin Ismail al-Sahmi (w. 259 H), yang
dikenal jujur meriwayatkan hadits dari Malik pula. Jarak antara meninggalnya
Zuhri dan Sahmi adalah 135 tahun.[4]
Sesuai dengan ketentuan di atas, bahwa periwayatan Zuhri, yang meninggal duluan
ini, disebut Riwayatu al-Sabiq,
sedangkan riwayat Sahmi, yang meninggal belakangan, disebut Riwayatu al-Lahiq.
Faedah
mengetahui Riwayatu al-Sabiq wa al-Lahiq
ini, ialah untuk menghindari persangkaan, bahwa ada rawi yang dibuang. Sebab di
kala diketahui bahwa rawi yang menerima dan meriwayatkan hadits dari seorang
guru telah meninggal, tidak mustahil ada persangkaan bahwa antara rawi yang
terakhir wafatnya dengan guru yang memberikan hadits terdapat perantara,
padahal tidak demikian. Karena itu hilanglah persangkaan pengguguran sanad oleh
rawi yang terakhir wafatnya.
Di
samping itu juga untuk mengetahui ketinggian sanad suatu hadits. Sebab
sebagaimana diketahui apabila dua orang rawi sama-sama menerima hadits dari
seorang guru, kemudian salah satunya wafat duluan, maka ketinggian hadits itu
terletak pada hadits rawi yang wafat duluan, karena kadang-kadang ketinggian
sanad hadits itu, disebabkan Karena terdahulunya kematian rawi. Al-Hafidz Ibnu
Hajar, membatasi jarak kematian antara dua orang rawi, maksimal 150 tahun.
Al-Hafidz
Abu Bakar al-Baghdady menyusun sebuah kitab dalam pengetahuan ini dengan judul
“al-Sabiq wa al-Lahiq”.[5]
B.
Al-Muttafiq
wa al-Muftariq
Al-Muttafiq
secara etimologi berarti yang cocok, yang sama, sedangkan al-Muftariq berarti yang berlainan.[6]
Dalam istilah ilmu hadits al-Muttafiq wa
al-Muftariq adalah satu nama, nasab, dan sebagainya yang dipakai oleh
seorang perawi. Dengan kata lain, mereka sama dalam nama, tetapi merupakan
orang yang berbeda.[7]
Penjelasannya:
Persesuaian antara rawi yang satu dengan yang lain itu mengenai nama asli, nama
samaran, keturunan atau lain sebagainya dalam ucapan dan bentuk tulisannya,
tetapi berlainan orangnya yang dimaksud dengan nama tersebut, maka disebut
dengan al-Muttafiq dan sebagai
lawannya disebut dengan al-Muftariq.[8]
Abu Amr bin al-Shalah membagi al-Muttafiq wa al-Muftariq ini menjadi
beberapa bagian. Di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Para
rawi yang nama mereka dan nama bapaknya sama, seperti Anas bin Malik. Nama yang
demikian disandang oleh sepuluh orang. Lima di antaranya adalah periwayat
hadits; pertama, pelayan Nabi saw. Kedua, Ka’bi Qusyairi yang meriwayatkan satu
buah hadits. Ketiga, ayah Imam Malik. Keempat, Himshi, dan yang terakhir Kufi.
b. Para
rawi yang nama mereka, nama bapak, dan nama kakek mereka sama seperti Ahmad bin
Ja’far bin Hamdan. Nama yang demikian disandang oleh empat orang; al-Qathi’I
yang meriwayatkan Musnad Ahmad, al-Bashri, al-Dinauri, dan al-Tharasusi.
c. Para
rawi yang kunyah dan nisbat mereka sama, seperti Abu Imran al-Jauni. Nama yang
demikian disandang oleh dua orang, yaitu Abdul Malik bin Habib al-Tabi’I dan
Musa bin Sahl al-Bashri. Beliau pernah tinggal di Baghdad.
d. Para
rawi yang memiliki kesamaan dalam nisbat saja. Contoh al-Amuli dan al-Amuli.
Yang pertama adalah nisbat kepada Amul di Thabaristan, sedangkan yang kedua
adalah nisbat kepada Amul di Jaihun. Abu Sa’d al-Sam’ani berkata, “Kebanyakan
ahli ilmu berasal dari Amul Thabaristan.” Para ulama yang dinisbatkan kepada
Thabaristan kemudian dikenal dengan al-Thabari. Ulama yang dikenal dengan
nisbat kepada Amul Jaihun adalah Abdullah bin Hammad al-Amuli, guru al-Bukhari.[9]
Al-Khathib
al-Baghdadi telah menulis kitab dalam bidang ini dengan nama al-Muttafiq wa al-Muftariq, sebuah kitab
yang menarik. Al-Hafidz Abu al-Fadhl Muhammad bin Tharir (w. 507 H) juga telah
menyusun sebuah kitab tentang kesamaan nisbat dengan judul al-Ansab al-Muttafiqah. Kitab ini banyak membawa faedah yang
penting. Abu al-Hasan Muhammad bin al-Hayawiyah telah menyusun kitab dalam
disiplin ini dengan judul Man Wafadat
Kunyatuhu Kunyata Zaujatihi Min al-Shahabah; seperti halnya Ummu Ayyub
al-Anshariyah istri Abu Ayyub dan Ummu Ma’qil al-Asadiyah istri Abu Ma’qil.[10]
Faedah
mengetahui al-Muttafiq wa al-Muftariq
adalah dapat membedakan dua rawi atau lebih yang memiliki nama yang sama karena
sangat mungkin seseorang akan menduga sejumlah nama yang sama adalah seorang
pribadi, sementara yang satu tsiqat
dan lainnya dhaif. Dengan demikian,
dia akan dapat mendhaifkan hadits yang shahih atau menshahihkan hadits yang
dhaif.[11]
C.
Al-Mu’talif
wa al-Mukhtalif
Al-Mu’talif
secara etimologi artinya yang berkumpul, sedangkan al-Mukhtalif artinya yang berselisihan.[12] Al-Mu’talif wa al-Mukhtalif dalam
istilah ilmu hadits adalah nama atau nisbat yang tulisannya serupa tetapi
bacaannya berbeda.[13]
Penjelasannya:
kalau nama rawi, kunyah, laqab dan lain sebagainya itu sama pada
bentuk tulisannya (khat) saja, sedang
pada lafadz (ucapannya) tidak, maka
hadits yang sanadnya demikian itu, disebut hadits al-Mu’talif, dan sebagai lawannya disebut hadits al-Mukhtalif.
Misalnya
seorang rawi yang bernama Sallam
(dengan huruf L rangkap) adalah nama yang paling popular. Adapun kalau dibaca takhfif (L-nya tidak rangkap) maka
kadang-kadang yang dimaksud ialah Salam,
kakek Abi ‘Ali Jubai, dan kadang-kadang Salam bin Misykam al-Yahudy.[14]
Contohnya
lagi: Hizam, dengan zay dan sebelumnya ha’ yang dibaca kasrah
oleh orang Quraisy, dan Haram, dengan
ra’ dan sebelumnya ha’ yang dibaca fatah oleh orang Anshar.
Al-Adzra’I
dengan dzal, yaitu Ishaq bin Ibrahim
al-Adzra’I, dan al-Adra’I dengan dal, adalah nisbat yang disandang oleh
sekelompok jamaah pada al-Adra’,
yaitu Abu Ja’far Muhammad bin Ubaidillah, salah seorang pemuka Ahli Bait yang
membunuh singa yang memakai baju perang. Karenanya ia diberi nama Adra.[15]
Sangat
banyak kitab yang telah disusun dalam membahas bidang ini. Diantaranya yang
sudah dicetak dan yang paling penting adalah:
1. Al-Ikmal fi Rafi al-Irtiyab ‘an
al-Mu’talif wa al-Mukhtalif min al-Asma wa al-Kuna wa al-Ansab
karya Ibnu Makulan Ali bin Hibatullah (w. 475 H), seluruhnya delapan jilid.
2. Al-Musytabih
karya al-Imam al-Dzahabi. Kitab ini disusun untuk menghimpun kitab Ibnu Makulan
dan kitab-kitab yang telah merevisinya serta kitab lainnya.
3. Tabshir al-Muntabih bi Tahrir
al-Musytabih karya al-Hafizh Ibnu Hajar. Kitab ini
merupakan kitab terbaik dalam bidangnya, karena dilengkapi dengan tanda-tanda
baca yang tertulis jelas, seperti layaknya kitab yang menyempurnakan hal-hal
yang tidak dilakukan oleh al-Dzahabi.[16]
Faedah
mempelajari tema ini adalah mencegah terjadinya sangkaan yang salah tentang
seorang rawi atau menyamaratakannya dengan periwayat lain. Barang siapa tidak
mengetahui disiplin ilmu ini akan banyak bersalah dan tidak mustahil akan
kebingungan menutup malu.[17]
IV.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Secara
etimologi as-Sabiq artinya yang
mendahului, yang terdahulu, yang lewat, sedangkan al-Lahiq artinya yang mendapati, yang berhubungan, yang menyusul.
Menurut istilah as-Sabiq wa al-Lahiq
adalah dua orang rawi yang sama-sama meriwayatkan hadits dari seseorang.
Kemudian salah seorang dari mereka meninggal lebih dahulu dengan selang waktu
cukup jauh.
2. Al-Muttafiq
secara etimologi berarti yang cocok, yang sama, sedangkan al-Muftariq berarti yang berlainan. Dalam istilah ilmu hadits al-Muttafiq wa al-Muftariq adalah satu
nama, nasab, dan sebagainya yang dipakai oleh seorang perawi. Dengan kata lain,
mereka sama dalam nama, tetapi merupakan orang yang berbeda.
3. Al-Mu’talif
secara etimologi artinya yang berkumpul, sedangkan al-Mukhtalif artinya yang berselisihan. Al-Mu’talif wa al-Mukhtalif dalam istilah ilmu hadits adalah nama
atau nisbat yang tulisannya serupa tetapi bacaannya berbeda.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahman,
Fatchur. 1991. Ikhtishar Mushthalahul
Hadits. Bandung: PT Alma’arif.
Hasan,
A. Qadir. 2002. Ilmu Mushthalah Hadits.
Bandung: CV Penerbit Diponegoro.
‘Itr,
Nuruddin. 2012. Al-Manhaj An-Naqd Fii
‘Uluum Al-Hadits. Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
[1]
A.
Qadir Hasan. Ilmu Mushthalah Hadits.
Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2002. Hlm. 343.
[2]
Dr.
Nuruddin ‘Itr. Al-Manhaj An-Naqd Fii
‘Uluum Al-Hadits. Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2012. Hlm. 149.
[3] Drs. Fatchur Rahman. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung:
PT Alma’arif. 1991. Hlm. 237.
[4]
Dr.
Nuruddin ‘Itr. Al-Manhaj An-Naqd Fii
‘Uluum Al-Hadits. Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2012. Hlm. 149.
[5] Drs. Fatchur Rahman. Ikhtishar Mushthalahul Hadits. Bandung:
PT Alma’arif. 1991. Hlm. 237.
[6]
A.
Qadir Hasan. Ilmu Mushthalah Hadits.
Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2002. Hlm. 318.
[7]
Dr. Nuruddin ‘Itr. Al-Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits.
Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2012. Hlm. 170.
[8]
Drs.
Fatchur Rahman. Ikhtishar Mushthalahul
Hadits. Bandung: PT Alma’arif. 1991. Hlm. 242-243.
[9] Dr. Nuruddin ‘Itr. Al-Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits.
Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2012. Hlm. 171.
[10] Ibid. hlm. 172.
[11]
Ibid. hlm. 171.
[12]
A.Qadir
Hasan. Ilmu Mushthalah Hadits.
Bandung: CV Penerbit Diponegoro. 2002. Hlm. 322.
[13] Dr. Nuruddin ‘Itr. Al-Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits.
Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2012. Hlm. 172.
[14]
Drs.
Fatchur Rahman. Ikhtishar Mushthalahul
Hadits. Bandung: PT Alma’arif. 1991. Hlm. 243.
[15] Dr. Nuruddin ‘Itr. Al-Manhaj An-Naqd Fii ‘Uluum Al-Hadits.
Edisi Indonesia: ‘Ulumul Hadits. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2012. Hlm. 173.
[16]
Ibid. 175.
No comments:
Post a Comment