I.
PENDAHULUAN
Hadits
Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadits, terlebih dahulu melalui proses
kegiatan yang dinamai dengan riwayah
al-hadits atau ar-riwayah.
Periwayatan adalah memindahkan apa yang didengar, yaitu mencakup penerimaan dan
penyampaian berita. Maka kegiatan ini sudah ada bersamaan dengan munculnya
manusia di bumi, dan tidak hanya terjadi pada suatu umat atau satu generasi.
Karena memang kegiatan ini merupakan tabiat manusia di dalam proses saling
menerima dan menyampaikan suatu kabar berita.
Sejarah
telah mencatat bahwa tradisi periwayatan ini telah menyebar di berbagai bangsa.
Bangsa Romawi sangat memperhatikan sejarah tuhan-tuhan mereka. Demikian juga
Yunani dan Arab Jahiliyah. Mereka tidak akan mengetahui sejarah itu kecuali
melalui penuturan secara turun temurun (periwayatan) di antara mereka. Dengan
cara ini mereka tidak perlu menelusuri catatan-catatan atau dokumen-dokumen
yang tersimpan dalam suatu lembaga tertentu, karena memang tradisi menulis
belum membudaya di kalangan mereka.
Ketika
Islam datang, tradisi periwayatan ini terus berjalan dan semakin mendapat
perhatian khusus dari umat Islam. Tetapi periwayatan dalam Islam – periwayatan hadits – mempunyai
keistimewaan dan cirri-ciri khusus yang akan membedakannya dari
periwayatan-periwayatan yang telah ada sebelumnya. Keistimewaan ini dilihat
dari dua hal, yaitu: (1) perhatian umat Islam terhadap aspek periwayatan; (2)
adanya unsur persambungan sanad
sampai kepada Nabi.[1]
Pada
kesempatan kali ini pemakalah akan membahas tentang perhatian umat Islam
terhadap aspek periwayatan, dimana dalam periwayatan hadits terdapat dua cara,
yaitu periwayatan dengan lafadz (ar-Riwayah
bi al-Lafdzi) dan periwayatan dengan makna (ar-Riwayah bi al-Ma’na). Namun makalah yang ada di hadapan pembaca
ini khusus mengkaji tentang ar-Riwayah bi
al-Ma’na, dimana dalam periwayatan dengan makna ini terdapat beberapa
permasalahan yang harus dikaji yang insya Allah akan kami uraikan di pembahasan
berikut ini.
II.
PEMBAHASAN
A.
Konsep
ar-Riwayah bi al-Ma’na
Secara
etimologis, kata ar-Riwayah bi al-Ma’na
terdiri dari kata ar-Riwayah dan al-Ma’na. Ar-Riwayah adalah masdar
dari kata rawa yang berarti
penukilan, penyebutan, pintalan dan pemberian minum sampai puas. Sedangkan
dalam Bahasa Indonesia berarti cerita, kisah dan berita. Jika dihubungkan
dengan hadis, berarti berita atau atau khabar yang umum yang dimaksudkan untuk
menerangkan hukum syara’. Sedangkan menurut istilah ilmu hadits, ar-Riwayah berarti memindahkan hadits
dan menyandarkannya kepada seseorang dengan metode tertentu, atau kegiatan
penerimaan dan penyampaian hadits serta penyandarannya kepada rangkaian para
periwayat dengan bentuk-bentuk tertentu.
Sedangkan
al-Ma’na diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia dengan makna yang berarti maksud, arti atau apa-apa yang
dikehendaki oleh sesuatu. Dalam hal ini, al-Ma’na
berarti kontekstual (al-Lafdzi). Maka
susunan kata ar-Riwayah bi al-Ma’na
berarti periwayatan hadits yang dilakukan oleh seorang periwayat dengan
menggunakan lafal dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun sebagiannya
saja dengan tetap menjaga artinya tanpa menghilangkan apapun apabila
dibandingkan dengan hadits yang diriwayatkan menurut lafal atau teks aslinya.[2]
B.
Periwayatan
Hadits dengan Makna
Periwayatan
hadits dengan makna termasuk ilmu riwayah
hadits yang paling penting karena padanya terjadi perbedaan pendapat dan
ketidakjelasan serta banyak problemanya, diantaranya adalah sebagai berikut.
Tidak
ada perbedaan pendapat diantara para ulama bahwa orang yang bodoh, rawi pemula,
orang yang belum mahir dalam bidang ilmu hadits, tidak menonjol pengetahuannya
tentang struktur lafal dan kalimat bahasa Arab, dan tidak paham terhadap makna
hadits adalah tidak boleh meriwayatkan dan menceritakan hadits kecuali dengan
lafal yang didengarnya. Karena bila ia meriwayatkan hadits tidak dengan
lafalnya, maka ia akan memutuskan suatu hukum dengan kebodohannya, berkiprah
dalam pangkal syari’ah yang bukan wewenangnya, dan berkata semena-semena
terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Ulama
salaf, ulama hadits, fiqih, dan ushul berbeda pendapat dalam hal boleh-tidaknya
periwayatan hadits dengan makna bagi orang yang mengetahui makna-makna lafal dan
sasaran khithab.
Banyak
ulama salaf dan ahli penelitian dari kalangan muhadditsin dan fuqaha bersikap
sangat tegas sehingga mereka melarang periwayatan hadits dengan makna, dan
tidak memperbolehkan seorangpun menyampaikan hadits kecuali dengan lafalnya.
Jumhur
ulama, termasuk imam yang empat, berpendapat bolehnya meriwayatkan hadits
dengan makna bagi orang yang berkecimpung dalam ilmu hadits dan selektif dalam
mengidentifikasi karakter lafal-lafal hadits manakala bercampur aduk, sebab
hadits yang dapat diriwayatkan dengan maknanya saja harus memenuhi dua
kriteria, yaitu (1) lafal hadits bukan bacaan ibadah dan (2) hadits tersebut tidak
termasuk jawami’ al-kalim (kata-kata
yang sarat makna) yang diucapkan Nabi SAW.)
Pendapat
inilah yang shahih, karena hadits yang memenuhi kedua kriteria di atas pokok
permasalahannya terletak pada maknanya dan bukan pada lafalnya. Oleh karena itu
bila seorang alim meriwayatkan suatu hadits dengan maknanya saja, maka ia telah
memenuhi tuntutan dan maksud hadits tersebut.
Bukti
empiris yang lebih akurat adalah kesepakatan umat memperbolehkan seorang ahli
hadits menyampaikan hadits dengan maknanya saja bahkan dengan selain bahasa
Arab.
Bukti
lain adalah bahwa periwayatan hadits dengan maknanya telah dilakukan oleh para
sahabat dan ulama salaf periode pertama. Seringkali mereka mengemukakan suatu
makna dalam suatu masalah dengan beberapa redaksi yang berbeda-beda. Hal ini
terjadi tiada lain karena mereka berpegang kepada makna hadits bukan kepada
lafalnya.[3]
C.
Problema
Periwayatan Hadits dengan Makna
Kebanyakan
rawi mengambil kemudahan periwayatan hadits dengan makna dan mengamalkan
kandungannya agar tidak terjadi penyia-nyiaan terhadap sejumlah besar hadits
yang telah diketahui keshahihan kandungannya. Hal ini mengingat bahwa keharusan
periwayatan hadits dengan lafalnya itu mengakibatkan kesulitan yang serius bagi
para rawi, karena mereka mesti hati-hati dan betul-betul menguasai.
Kemudian
datanglah sebagian ulama yang berorientasi ke Barat dengan mengikuti pemikiran
guru-gurunya yang orientalis. Mereka melontarkan beberapa anggapan dan keraguan
terhadap hadits yang diriwayatkan dengan maknanya. Mereka beranggapan bahwa
bila seorang rawi diperbolehkan mengganti lafal yang digunakan oleh Rasulullah
SAW dengan redaksinya sendiri, maka gugurlah kalimat yang pertama, karena
pengungkapan dengan makna itu tidak terlepas dari perbedaan dan perubahan.
Sehingga apabila perbedaan dan perubahan itu berjalan terus-menerus, maka yang
terakhir menjadi sangat jauh sehingga antara kalimat yang pertama (yang
diucapkan Rasulullah SAW.) dan kalimat yang terakhir sama sekali tidak memiliki
titik kesamaan.
Tuduhan
itu diatur sedemikian rupa oleh para pelakunya untuk menanamkan keraguan ke
dalam hati umat Islam dengan cara memutarbalikkan dan menilai adanya
penyimpangan terhadap syarat-syarat yang telah digariskan oleh para ulama
sekitar keshahihan hadits dan periwayatannya dengan makna. Yaitu syarat-syarat
yang membuat pemerhati hadits yakin bahwa periwayatan hadits dengan makna mereka lakukan tidak mengakibatkan perbedaan
makna hakikinya sebab yang mereka lakukan tiada lain adalah menempatkan
beberapa kata pada tempat kata-kata lain yang semakna.[4]
III.
PENUTUP
Sebagai
penutup makalah ini, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan dan diingat,
yaitu:
a. Ada
satu hal yang perlu diperhatikan dan diingat, yaitu bahwa perbedaan pendapat
sehubungan dengan periwayatan hadits dengan makna itu hanya terjadi pada masa
periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadits. Setelah hadits dibukukan dalam
berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadits
harus mengikuti lafal yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu
lagi menerima periwayatan hadits dengan makna. Bahkan akhir-akhir ini telah
ditetapkan dilarangnya periwayatan hadits dengan maknanya saja dalam praktik,
meskipun secara teori sebagiam ulama masih membolehkannya.
b. Orang
yang meriwayatkan hadits dengan maknanya hendaknya senantiasa mempedulikan satu
sisi kehati-hatian, yakni dengan mengikutsertakan kata-kata “au kama qaala”
atau “au nahwa haadza” dan sebagainya setelah selesai membacakan hadits
tersebut. Hal ini dilakukan oleh Ibnu Mas’ud, Anas bin Malik, Abu al-Darda’,
dan sebagainya.[5]
IV.
DAFTAR
PUSTAKA
‘Itr, Nuruddin,’Ulum Al-Hadits 1, diterjemahkan oleh Drs. Mujiyo dari “Manhaj An-Naqd Fii ‘Ulum Al-Hadits,”
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cetakan Pertama, 1994.
Noorhidayati, Salamah, Kritik Teks Hadits (Analisis tentang
ar-Riwayah bi al-Ma’na dan Implikasinya bagi Kualitas Hadits), Yogyakarta:
Penerbit TERAS, Cetakan Pertama, 2009.
[1]
Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadits
(Analisis tentang ar-Riwayah bi al-Ma’na dan Implikasinya bagi Kualitas Hadits),
(Yogyakarta: Penerbit Teras, 2009), Cetakan Pertama, h. 15-23.
[2]
Ibid. h. 45-48.
[3]
Nuruddin ‘Itr, ‘Ulum Al-Hadits 1,
diterjemahkan oleh Drs. Mujiyo dari “Manhaj
An-Naqd Fii ‘Ulum Al-Hadits,” (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994),
Cetakan Pertama, h. 212-214.
[4]
Ibid. h. 214-216.
No comments:
Post a Comment