Tuesday, August 30, 2016

Makalah Tafsir Hadis+Hadis Dha'if atau Palsu


PENDAHULUAN



            Salah satu fitnah besar yang pernah menimpa umat Islam pada abad pertama hijriah adalah tersebarnya hadits-hadits dha’if dikalangan umat. Hal itu juga menimpa para ulama, kecuali sejumlah pakar dan kritikus hadits yang dikehendaki Allah, seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibnu Muin, Abi hatim ar-Razi, dan lainnya. Tersebarnya hadits-hadits semacam itu diseluruh wilayah Islam telah meninggalkan dampak negatif yang luar biasa, diantaranya terjadi perusakan pada segi akidah terhadap hal-hal gaib, syariat, dan sebagainya.



            Diantara bukti nyata betapa sangat buruk pengaruh hadits dha’if dan maudhu’ pada umat Islam adalah tumbuhnya sikap meremehkan terhadap hadits Rasulullah SAW. Kalangan ulama, mubaligh, dan pengajar yang kurang cermat dalam menukil periwayatan hadits juga semakin mempercepat penyebaran dampak buruk tersebut. Belum lagi bilangan hadits yang dipalsukan ternyata memang amat banyak.



            Telah menjadi kehendak Ilahi yang Maha Bijaksana untuk tidak membiarkan hadits-hadits semacam itu berserakan disana sini tanpa mengutus atau memberikan keistimewaan pada sekelompok orang berkemampuan tinggi untuk menghentikan dampak negatif serta menyingkap tabirnya, kemudian menjelaskan hakikatnya kepada khalayak. Mereka itulah para pakar hadits asy-Syarif, para pengemban panji sunnah nabawiyyah yang telah didoakan Rasulullah SAW dengan sabdanya :



نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها وحفظها وبلغها , فرب حامل فقه الى من هو افقه منه ( اخرجه ابو داود و الترمذى وصححه ولسياق له ابن حبان )



            “Allah SWT membaikkan kedudukan seseorang yang mendengar sabdaku, memahaminya, menjaganya, dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Boleh jadi pengemban fiqih akan menyampaikannya kepada yang lebih pandai darinya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi serta Ibnu Hibban)



            Para pakar hadits telah melakukan penelitian dan menjelaskan keadaan hadits-hadits Rasulullah dengan menghukuminya sebagai hadits shahih, dha’if, dan maudhu’. Mereka pun membuat aturan dan kaedah-kaedah, khususnya yang berkenaan dengan ilmu tersebut. Siapapun yang berpengetahuan luas dalam ilmu ini akan mudah mengenali derajat suatu hadits, sekalipun tanpa adanya nash. Inilah yang dikenal dengan ilmu Mushthalah Hadits. (1)



            Dengan melihat kenyataan inilah, pada makalah kali ini kami akan membahas seputar hadits dha’if serta yang berkaitan dengannya sehingga kita bisa mengetahui mana hadits yang dha’if dan mana yang shahih yang Insya Allah kami akan sistematiskan pembahasannya pada bab pembahasan.

_______________________

1.       Muhammad Nashiruddin al-Albany. Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal-Maudhu’ah wa Atsaruhas-Sayyi’ fil Ummah. Jilid 1. Terj. A.M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani Press. 1999. hlm. 29-30.







POKOK PEMBAHASAN



1.      Pengertian Hadits Dha’if  

2.      Sebab-Sebab Kedha’ifan Hadits

3.      Pembagian hadits Dha’if



a.       Dha’if Ditinjau Dari Persambungan sanad

1.      Hadits Mursal

2.      Hadits Munqati’

3.      Hadits Mu’dhal

4.      Hadits Mu’allaq

5.      Hadits Mudallas



b.      Dha’if Ditinjau Dari Segi Sandarannya

1.      Hadits Mauquf

2.      Hadits Maqtu’



c.       Dha’if Ditinjau Dari Segi Cacatnya Perawi

1.      Hadits Matruk

2.      Hadits Munkar

3.      Hadits Mu’allal

4.      Hadits Mudraj

5.      Hadits Maqlub

6.      Hadits Mudhtharib

7.      Hadits Mushahhaf



4.      Kehujjahan Hadits Dha’if








PEMBAHASAN



I.     PENGERTIAN HADITS DHA’IF



Secara etimologi, term dha’if berasal dari kata dhu’fun yang berarti “lemah”, lawan dari term al-qawiy, yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang dimaksud dengan hadits dha’if adalah hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.



Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam merumuskannya. Namun demikian, secara substansial, kesemuanya memiliki persamaan arti, Imam al-Nawawi, misalnya, mendefinisikan hadits dha’if dengan “ hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan.



Nur al-Din ‘Itr, merumuskan hadits dha’if dengan “hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul” (hadits yang shahih atau hadits yang hasan)



Berdasarkan definisi rumusan ‘Itr di atas, dapat dipahami bahwa hadits yang kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan, maka hadits tersebut dapat dikategorikan sebagai hadits dha’if. Artinya, jika salah satu syarat saja hilang, disebut hadits dha’if, lalu bagaimana jika yang hilang itu dua atau tiga syarat ? seperti, perawinya tidak adil, tidak dhabith, atau terdapat kejanggalan dalam matannya. Maka hadits yang demikian, tentu dapat dinyatakan sebagai hadits dha’if yang sangat lemah sekali.(2)



II.  SEBAB-SEBAB KEDHA’IFAN HADITS



Para ulama muhaditsin mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan, yakni dari jurusan sanad dan jurusan matan.



Sebab-sebab tertolaknya hadits dari jurusan sanad adalah :

1.      Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan maupun ke-dhabit-annya.

2.      Ketidak bersambungannya sanad, dikarenakan adalah seorang rawi atau lebih, yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.



Adapun cacat pada keadilan dan ke-dhabith-an rawi itu ada sepuluh macam, yaitu sebagai berikut :

1.      Dusta

2.      Tertuduh dusta

3.      Fasik

4.      Banyak salah



________________________

(2)  Mohammad Nor Ichwan. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Semarang: RaSAIL Media Group. 2013. Hlm. 221-222





5.      Lengah dalam menghapal

6.      Menyalahi riwayat orang kepercayaan

7.      Banyak waham (purbasangka)

8.      Tidak diketahui identitasnya

9.      Penganut bid’ah

10.  Tidak baik hapalannya (3)



III.   PEMBAGIAN HADITS DHA’IF



Berdasarkan penelitian para ulama hadits, bahwa kedha’ifan suatu hadits bisa terjadi pada tiga tempat, yaitu pada sanad, pada matan dan pada perawinya. Dari ketiga bagian ini, lalu mereka membagi hadits ke dalam beberapa macam hadits dha’if yang jumlahnya sangat banyak sekali.



A.    Dha’if Ditinjau Dari Segi Persambungan Sanad



Ditinjau dari persambungan sanadnya (ittishal al-sanad), ternyata para ulama’ hadits banyak menemukan hadits yang sanadnya tidak bersambung atau terputus. Dengan perspektif ini, maka hadits tersebut dapat dikategorikan sebagai hadits dha’if. Hadits-hadits yang tergolong dalam kelompok ini, diantaranya adalah hadits mursal, hadits munqati’, hadits mu’dal, dan hadits mudallas.



1.      Hadits Mursal



Secara etimologi, “mursal” diambil dari kata “irsal” yang berarti “melepaskan”. Kata ini digunakan sebagai istilah untuk menyebut suatu hadits, karena orang yang meriwayatkannya melepaskan hadits itu langsung kepada Nabi, tanpa menyebutkan rawinya, yakni tidak menyebutkan seseorang yang pertama mengeluarkan hadits itu.



Al-Hakim mendefinisikan hadits mursal ini dengan “hadits yang disandarkan langsung oleh tabi’in kepada Rasul SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Tabi’in dimaksud bisa tabi’in kecil maupun tabi’in besar.



Dalam konteks ini, tabi’in ketika meriwayatkan hadits tidak menyebutkan bahwa ia menerima hadits tersebut dari sahabat, melainkan langsung ia terima dari Rasulullah SAW.



Berdasarkan definisi di atas, maka  hadits mursal ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu mursal al-jali dan mursal al-khafi. Jenis hadits yang disebut pertama, mursal al-jali yaitu tidak disebutkannya nama sahabat tersebut dilakukan oleh tabi’in besar, sedang jenis hadits yang kedua, mursal al-khafi, yaitu pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’in yang masih kecil.

________________________

(3)  M. Agus Solahuddin, Agus Suyadi. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia. 2011. Hlm. 148-149



Termasuk dalam kategori hadits jenis ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang ia sendiri tidak langsung menerima dari Rasulullah SAW. Kemungkinannya, ia ketika itu masih kecil atau tidak hadir di majlis Rasul pada saat hadits itu diwurudkan, akan tetapi dikatakannya bahwa ia menerima hadits itu dari Rasul SAW. Oleh para ahli hadits, hadits yang diriwayatkan dengan cara ini disebut mursal al-sahabi.



Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan hadits mursal. Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib bahwa perbedaan tersebut sampai sepuluh pendapat, tetapi yang tergolong masyhur hanya tiga pendapat.



Pertama, membolehkan berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Ulama yang termasuk kelompok pertama ini adalah Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, dan pendapat sebagian ahli Ilmu.



Kedua, tidak membolehkan secara mutlak. Diceritakan oleh Imam Nawawi bahwa pendapat ini di dukung oleh jumhur ulama ahli hadits, Imam Syafi’i, kebanyakan ulama ahli fiqih dan ahli ushul.



Ketiga, membolehkan menggunakan hadits mursal apabila ada riwayat lain yang musnad, diamalkan oleh sebagian ulama, atau sebagian besar ahli ilmu. Apabila terdapat riwayat lain yang musnad, maka hadits mursal itu bisa dijadikan hujjah, demikian pendapat jumhur ulama dan ahli hadits.



2.      Hadits Munqati’



Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan definisi hadits munqati’. Menurut Muhammad al-Sabag, hadits munqati’ adalah “hadits yang gugur pada sanadnya seorang rawi, atau pada sanad tersebut disebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya”.



Sedangkan Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mendefinisikannya sebagai “hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih, atau pada sanadnya disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya”.



Sementara itu Ibnu Shalah mendefinisikannya sebagai “ hadits yang gugur seorang perawinya sebelum sahabat pada satu tempat, atau gugur dua orang perawinya pada dua tempat, yang tidak berturut-turut”.



Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa gugurnya perawi pada hadits munqati’, tidak terjadi pada thabaqah pertama, yakni thabaqah sahabat, tetapi pada thabaqah berikutnya; mungkin pada thabaqah kedua, ketiga dan mungkin juga pada thabaqah keempat. Kadang-kadang, yang digugurkan itu seorang perawi dan terkadang dua orang dengan tidak berturut-turut.





Dilihat dari segi persambungan sanadnya, hadits munqati’ jelas termasuk dalam kategori hadits dha’if. Oleh karenanya, hadits jenis ini tidak dapat dijadikan hujjah. Sebab, dengan gugurnya seorang perawi atau lebih, menyebabkan hilangnya salah satu syarat dari syarat-syarat shahih, dan karenanya tidak memenuhi syarat hadits shahih.



3.      Hadits Mu’dhal



Secara etimologi, kata mu’dhal berarti “sesuatu yang sulit dicari” atau “sesuatu yang sulit dipahami”. Disebut hadits mu’dhal karena seolah-olah hadits itu menyulitkan, sehingga orang yang meriwayatkannya tidak memperoleh manfaat.



Sedangkan secara terminologis, hadits mu’dhal didefinisikan sebagai “hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih, secara berturut-turut”.



Ada juga yang merumuskan hadits mu’dhal dengan “hadits yang gugur dua orang perawinya atau lebih, secara berturut-turut, baik gugurnya itu antara sahabat dengan tabi’in atau dua orang sebelumnya”.



Dengan kedua pengertian di atas, menunjukan, bahwa hadits mu’dhal berbeda dengan hadits munqati’. Pada hadits mu’dhal, gugurnya dua orang perawi terjadi secara berturut-turut. Sedang pada hadits munqati’, gugurnya dua orang perawi, terjadi secara terpisah (tidak berturut-turut).



4.      Hadits Mu’allaq



Secara etimologi, kata mu’allaq adalah isim maf’ul dari kata ‘allaqa, yang berarti “menggantungkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga ia menjadi tergantung”.



Sedangkan secara terminologis, hadits mu’allaq adalah “hadits yang di hapus dari awal sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut”.



Pada umumnya hadits mu’allaq bisa terbentuk :

a.       Bahwa mukharrij hadits langsung berkata : Rasul SAW bersabda “....”; atau

b.      Mukharrij hadits menghapus seluruh sanadnya, kecuali sahabat dan tabi’in.



Contoh hadits mu’allaq adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari pada muqaddimah bab mengenai “menutupi paha”, berkata Abu Musa, “Rasulullah SAW menutupi kedua lutut beliau ketika ‘Utsman masuk”.



Hadits di atas adalah mu’allaq, karena Bukhari menghapus seluruh sanadnya, kecuali sahabat, yaitu Abu Musa al-Asy’ari.



Hadits mu’allaq adalah hukumnya mardud (tertolak), karena tidak terpenuhinya salah satu syarat qabul, yaitu persambungan sanad, yang dalam hal ini adalah dihapuskannya satu orang perawi atau lebih dari sanadnya, sementara keadaan perawi yang dihapuskannya tersebut tidak diketahui.



Hukum ini adalah untuk hadits mu’allaq secara umum. Akan tetapi, hadits mu’allaq yang terdapat di dalam kitab shahih, seperti kitab Shahih Bukhari dan Muslim, mempunyai ketentuan khusus. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya sanad dari hadits-hadits itu adalah bersambung, namun karena untuk meringkas dan mengurangi terjadinya pengulangan, maka sebagian perawinya dihapus. Para ulama secara khusus telah melakukan penelitian terhadap hadits-hadits mu’allaq yang terdapat pada kitab Shahih Bukhari, dan mereka telah membuktikan bahwa keseluruhan sanadnya adalah bersambung. Di antara karya yang terbaik dalam hal ini adalah kitab Taghliq al-Ta’liq karya Ibn Hajar al-‘Asqalani.



5.      Hadits Mudallas



Secara etimologi, kata mudallas merupakan isim maf’ul dari kata tadlis, yang berarti “ menyembunyikan cacat barang yang dijual dari si pembeli”. Kata al-dalsu mengandung arti “gelap” atau “berbaur dengan gelap”.



Sedangkan secara terminologi ilmu hadits, didefinisikan sebagai “menyembunyikan cacat dalam sanad dan menampakkannya pada lahirnya seperti baik.



Para ulama membagi mudallas menjadi dua bagian, yaitu tadlis al-isnad, dan tadlis al-syuyukh.



1.      Tadlis al-isnad adalah seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang semasa dengannya yang hadits tersebut tidak di dengarnya dari orang itu namun seolah-olah dia mendengarnya dari orang tersebut dengan menggunakan perkataan : “berkata si fulan” atau “dari si fulan”, dan yang seumpamanya. Boleh jadi dia menggunakan gurunya, atau orang lain, yang dha’if masih kecil, agar hadits tersebut dipandang baik.



Ada juga yang mendefinisikan tadlis al-isnad dengan seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang pernah ia riwayatkan haditsnya, namun hadits yang sedang diriwayatkannya tersebut tidak di dengarnya dari orang itu dan dia juga tidak menyebutkan secara tegas bahwa hadits tersebut di dengarnya dari orang itu.



Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan tadlis al-isnad adalah bahwa seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang guru yang telah/ pernah mengajarkan beberapa hadits kepadanya. Namun, hadits yang di tadli-nya itu tidak diperolehnya dari guru tersebut, tetapi dari guru lain yang kemudian guru itu digugurkannya (disembunyikannya). Perawi itu kemudian meriwayatkan hadits tersebut dari gurunya yang pertama dengan lafaz yang mengandung pengertian seolah-olah dia mendengarnya darinya, seperti perkataan qala atau sami’a atau ‘an, sehingga orang lain menduga bahwa dia mendengar dari gurunya yang pertama di atas. Dia tidak menyatakan secara tegas bahwa dia mendengar hadits tersebut dari gurunya yang pertama itu dengan tidak menggunakan lafaz atau sami’tu atau haddatsani sehingga ia tidak dianggap berdusta. Perawi yang di gugurkannya tersebut boleh jadi satu orang atau lebih.



2.      Tadlis al-syuyukh yaitu seorang perawi memberi nama, gelar, nisbah atau sifat kepada gurunya dengan sesuatu nama atau gelar yang tidak dikenal. Atau dapat juga dimaknai sebagai seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang guru yang di dengarnya langsung dari guru tersebut, maka perawi tersebut menyebut nama guru itu, gelarnya, nasabnya, atau sifatnya yang tidak dikenal orang agar orang lain tidak mengenalnya.



Umpamanya, perkataan Abu Bakar Ibn Mujahid : “haddatsana ‘Abdullah bin Abi ‘Abdillah”. Yang dimaksud dengan Abdullah disini adalah Abu Bakar Ibn Abi Dawud al-Sijistani.



B.     Dha’if Ditinjau Dari Segi Sandarannya



Para ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits dha’if dari segi persandarannya, segala hadits yang mauquf dan yang maqtu’. Berikut akan dijelaskan secara singkat masing-masing hadits dimaksud.



1.      Hadits Mauquf



Hadits mauquf adalah “hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrirnya. Periwayatannya, baik bersambung atau tidak”.



Ada juga yang mendefinisikan hadits mauquf sebagai “hadits yang disandarkan kepada sahabat”.



Dengan demikian dapat dipahami bahwa hadits mauquf adalah apa saja yang disandarkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya. Disebut mauquf, karena sandarannya terhenti pada thabaqah sahabat.



Ibnu Shalah membagi hadits mauquf menjadi dua bagian, yaitu mauquf al-mausul dan mauquf ghair al-mausul. Mauquf al-mausul, berarti hadits mauquf yang sanadnya bersambung sampai kepada sahabat, sebagai sumber hadits. Sedang yang dimaksud dengan mauquf ghair al-mausul adalah hadits mauquf yang sanadnya tidak bersambung. Dilihat dari segi persambungan ini, maka hadits mauquf ghair al-mausul dinilai sebagai hadits dha’if yang lebih rendah dari pada hadits mauquf al-mausul.







2.      Hadits Maqtu’



Yang dimaksud dengan hadits maqtu’ adalah “hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya”. Atau dengan kata lain, bahwa hadits maqtu’ adalah perkataan atau perbuatan tabi’in.



Seperti halnya hadits mauquf, hadits maqtu’ jika dilihat dari segi sandarannya adalah hadits yang lemah, yang karenanya tidak dapat dijadikan hujjah. Di antara para ulama ada yang menyebut hadits mauquf dan hadits maqtu’ ini dengan al-atsar dan al-khabar.



C.     Dha’if Ditinjau Dari Segi Cacatnya Perawi



Yang dimaksud dengan cacat pada perawi adalah terdapatnya kekurangan atau cacat (jarh) pada diri perawi, baik dari segi keadilannya, agama, atau dari segi ingatan, hafalan, dan ketelitiannya. Para ulama telah menginventarisir bahwa setidaknya ada sepuluh penyebab terjadinya cacat pada seorang perawi. Lima hal berhubungan dengan keadilan dan agamanya, dan lima hal lagi berhubungan dengan ingatan dan hafalannya.



Cacat yang berhubungan dengan keadilan seorang perawi diantaranya adalah :

1.      Al-kadzib (pembohong / pendusta)

2.      Al-tuhmah bi al-kadzib (dituduh berbohong)

3.      Fasik

4.      Berbuat bid’ah, dan

5.      Tidak diketahui keadaannya.



Sedangkan cacat yang berhubungan dengan ingatan dan hafalan perawi adalah:

1.      Fahsy al-ghalath (sangat keliru / sangat dalam kesalahannya)

2.      Su’ al-hifzh (buruk hafalannya)

3.      Al-ghaflah (lalai)

4.      Katsrat al-awhani (banyak perasangka), dan

5.      Mukhalafat al-tsiqat (menyalahi perawi yang tsiqah)



Berikut ini akan dijelaskan macam-macam hadits dha’if berdasarkan cacat yang dimiliki oleh perawinya sebagaimana yang disebutkan di atas.



1.      Hadits Matruk



Maksudnya adalah suatu hadits yang perawinya mempunyai cacat al-tuhmah bi al-kadzib, tertuduh dusta, yaitu peringkat kedua terburuk sesudah al-kadzib, pembohong atau pendusta. Menurut istilah ilmu hadits, yang dimaksud dengan hadits matruk adalah hadits yang terdapat pada sanadnya perawi yang tertuduh dusta.



Pada umumnya seorang perawi yang tertuduh dusta adalah karena dia dikenal berbohong dalam pembicaraannya sehari-hari, namun bukan secara nyata kebohongan tersebut ditujukannya terhadap hadits Nabi SAW atau hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh dia sendirian sementara keadaannya menyalahi kaidah-kaidah umum.



Contoh hadits matruk adalah hadits Amr Ibn Syamr al-Ja’fi al-Syi’i dari jabir dari Abi al-Thufail dari ‘Ali dan ‘Ammar, keduanya berkata, “adalah Nabi SAW pada shalat subuh dan bertakbir pada hari arafah mulai dari shalat subuh dan berakhir pada waktu shalat asar di akhir hari tasyriq”.



Al-Nasa’i dan Dar al-Quthni serta para ulama hadits yang lain mengatakan bahwa ‘Amr Ibn Syamr tersebut haditsnya adalah matruk.



Hadits matruk termasuk hadits dha’if yang paling buruk keadaannya sesudah hadits mawdhu’. Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits dha’if yang paling buruk keadaannya adalah hadits mawdhu’, dan setelah itu hadits matruk, kemudian hadits munkar, hadits mu’allal, hadits mudraj, hadits maqlub, dan hadits mudhtharib.



2.      Hadits Munkar



Hadits munkar adalah hadits yang perawinya memiliki cacat dalam kadar yang sangat kelirunya atau nyata kefasikannya. Dapat juga didefinisikan sebagai hadits yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang sangat kelirunya, atau sering kali lalai dan terlihat kefasikannya secara nyata.



Ada juga yang mendefinisikan sebagai hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dha’if yang hadits tersebut berlawanan dengan yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqat.



Berdasarkan definisi yang disebutkan terakhir ini, maka terdapat persamaan dan perbedaan antara hadits munkar dengan hadits syadz. Persamaannya adalah adanya persyaratan pertentangan (al-mukhalafah) dengan riwayat perawi yang lain. Namun, perbedaannya adalah bahwa pada hadits syadz pertentangan ini adalah antara riwayat seorang perawi yang maqbul, yaitu yang shahih atau hasan, dengan riwayat yang lebih tinggi kualitas keshahihan atau kehasanannya (awla); sementara pada hadits munkar, pertentangan terjadi antara riwayat perawi yang dha’if dengan riwayat perawi yang maqbul.



3.      Hadits Mu’allal



Hadits mu’allal adalah hadits yang perawinya cacat karena al-wahm, yaitu banyaknya dugaan atau sangkaanyang tidak mempunyai landasan yang kuat. Umpamanya, seorang perawi yang menduga suatu sanad adalah muttashil (bersambung) yang sebenarnya adalah munqathi’ (terputus), atau dia mengirsalkan yang muttashil, memauqufkan yang marfu’ dan sebagainya.



Para ulama hadits mendefinisikannya sebagai “hadits yang apabila diteliti secara cermat terdapat padanya ‘illat yang merusak keshahihan hadits tersebut meskipun tampak secara lahirnya tidak cacat.



Maksud ‘illat disini adalah sesuai dengan pengertian ulama hadits, yaitu sebab yang terselubung dan tersembunyi yang merusak keshahihan hadits. Dengan demikian, ada dua unsur yang harus terpenuhi bagi suatu ‘illat :

a.       Al-ghumudh wa al-khafa’, yaitu sifat terselubung dan tersembunyi, dan

b.      Al-qadh fi shihhat al-hadits (merusak pada keshahihan hadits)



‘Illat tersebut terkadang terdapat pada sanad, dan terkadang terdapat pada matan, atau kedua-duanya. Menurut ‘Ajjaj al-Khathib, sehubungan dengan seringnya terjadi ‘illat tersebut pada sanad, seperti al-irsal, al-inqitha’, dan al-waqf, serta yang semakna dengannya, maka dia mengelompokkan hadits mu’allal ini ke dalam kelompok hadits dh’if pada pembagian hadits dha’if kelompok pertama, yaitu ditinjau dari segi terputusnya sanad hadits.



4.      Hadits Mudraj



Secara etimologi, kata idraj berarti memasukkan sesuatu kepada susuatu yang lain dan menggabungkannya dengan yang lain itu. Dengan demikian, maka hadits mudraj adalah hadits yang terdapat padanya tambahan yang bukan bagian dari hadits tersebut.



Para ulama hadits membagi mudraj menjadi dua macam, yaitu :



a.       Mudraj al-isnad



Yang dimaksud dengan mudraj al-isnad adalah hadits yang bukan penuturan sanadya.



Bentuk dari mudraj al-isnad ini adalah sebagai berikut : bahwa seorang perawi sedang menyampaikan satu rangkaian sanad, maka tiba-tiba ketika itu terjadi satu peristiwa yang menyebabka si perawi tersebut mengucapkan kalimat-kalimat yang lahir dari dirinya sendiri. Mendengar hal itu, sebagian pendengarnya menduga bahwa kalimat-kalimat itu adalah matan dari sanad yang dibacakan oleh si perawi tadi, maka yang mendengar tadi pun meriwayatkan dari si perawi tersebut sanad dan kalimat-kalimat yang di duganya matannya itu.



Contoh mudraj al-isnad ini adalah kisah Tsabit Ibn Musa al-Zahid mengenai riwayatnya tentang hadits “ siapa yang banyak shalatnya pada malam hari, wajahnya akan bagus pada siang hari”.



Asal dari kisah tersebut adalah, bahwa Tsabit Ibn Musa al-Zahid masuk ke rumah Syuraik Ibn ‘Abdullah al-Qadhi yang ketika itu sedang meng-imlak-an hadits. Pada saat Syuraik sedang membacakan rangkaian sanad hadits yang sedang di-imlak-annya itu, yaitu : “haddatsana al-A’masy ‘an Abi Sufyan ‘an Jabir qala : qala Rasulullah SAW...”



Ketika sampai pada perkataan “bersabda Rasulullah SAW itu” Syuraik diam sejenak untuk memberi kesempatan menulis kepada mereka yang sedang menerima imla’ tersebut. Dan pada saat itu Syuraik melihat Tsabit Ibn musa al-Zahid yang telah berada di tempat itu sejak dia meng-imlak-an rangkaian sanad tadi, lalu, ketika melihat Tsabit tersebut, Syuraik berkata : “man katsurat shalatuhu bi al-lail hasuna wajhuhu bi al-nahar”.



Yang dimaksudkan Syuraik dengan perkataannya tersebut adalah Tsabit itu sendiri, yang sifat zuhud dan wara’; namun Tsabit ternyata memahaminya lain, yang dipahaminya adalah bahwa perkataan Syuraik itu merupakan matan dari sanad yang baru saja didengarnya, sehingga Tsabit meriwayatkan sanad dan perkataan Syuraik tersebut sebagai matannya.



b.      Mudraj al-matan



Sedangkan yang dimaksud dengan mudraj al-matan adalah sesuatu yang dimasukkan kedalam matan suatu hadits yang bukan bagian dari matan hadits tersebut, tanpa ada pemisahan di antaranya, yaitu antara matan hadits dengan sesuatu yang dimasukkan tadi.



Ada juga yang mendefinisikannya sebagai memasukkan sesuatu dari perkataan para perawi hadits kedalam matan hadits, sehingga di duga perkataan tersebut merupakan bagian dari sabda rasulullah SAW.



Tipe yang kedua ini, yaitu mudraj al-matan terbagi kepada tiga macam, yaitu :

a.       Mudraj di awal hadits

b.      Mudraj di pertengah hadits

c.       Mudraj di akhir hadits



5.      Hadits Maqlub



Hadits maqlub adalah mengganti suatu lafadz dengan lafadz yang lain pada sanad hadits atau pada matannya dengan cara mendahulukan atau mengakhirkannya.



Maqlub terbagi kepada dua macam, yaitu :

1.      Maqlub sanad, yaitu penggantian yang terjadi pada sanad hadits. Bentuknya ada dua, yaitu :

a.       Adakalanya dengan menjadikan nama perawi menjadi nama ayahnya atau sebaliknya, seperti “Ka’ab Ibn Murrah” menjadi “Murrah Ibn Ka’ab; dan

b.      Yaitu mengganti nama seorang perawi dengan perawi lain yang berbeda pada thabaqat yang sama, seperti mengganti hadits yang masyhur berasal dari “Salim”  menjadi berasal dari “Nafi”.



2.      Maqlub matan, yaitu penggantian yang terjadi pada matan hadits. Bentuknya adalah dengan mendahulukan sebagian dari matan hadits tersebut atas sebagian yang lain, seperti hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Muslim, padanya terdapat lafadz berikut : “warajulun tashaddaqa bi shadaqatin fa ahfaha hatta la ta’lama yaminuhu ma tunfiqu syimaluhu”.



Pada hadits ini telah terjadi penggantian pada apa yang diriwayatkan oleh sebagian perawi yang lain, yaitu “hatta la ta’lama syimaluhu ma tunfiqu yaminuhu”. Maqlub matan ini dapat terjadi dengan cara menukarkan sanad dari suatu matan ke matan yang lain.



Hadits maqlub ini hukumnya adalah dha’if dan karenanya tertolak serta tidak dapat dijadikan dalil dalam beramal. Adapun pelakunya, apabila dia melakukan dengan sengaja, maka hukumnya haram dan perbuatannya itu sama dengan pembuat hadits mawdhu’ (palsu). Namun, apabila dilakukan karena kelalaiannya, maka riwayatnya tidak diterima dan jadilah dia seorang perawi yang cacat.



6.      Hadits Mudhtharib



Secara etimologi, kata mudhtharib berasal dari kata al-idhthirab, yang berarti “rusaknya susunan dan keteraturan sesuatu”. Sedangkan menurut terminologi ilmu hadits, hadits mudhtharib didefinisikan sebagai hadits hadits yang diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang berlawanan yang masing-masing sama-sama kuat.



Sementara itu, menurut Ibn Shalah, hadits mudhtharib adalah hadits yang terjadi perselisihan riwayat tentang hadits tersebut. Sebagian perawi meriwayatkannya menurut satu cara dan yang lainnya menurut cara yang lain yang bertentangan dengan cara yang pertama, sementara kedua cara tersebut adalah sama-sama kuat.



Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang berbeda dan saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya, sementara perbedaan dan pertentangan tersebut tidak dapat dikompromikan selamanya, dan juga tidak dapat dilakukan tarjih karena masing-masing bentuk tersebut sama kuatnya. Dengan demikian, suatu hadits baru dapat dikatakan mudhtharib apabila terpenuhi dua syarat, yaitu :



a.        Terjadinya perbedaan riwayat tentang suatu hadits yang perbedaan tersebut tidak dapat dikompromikan; dan

b.      Masing-masing riwayat mempunyai kekuatan yang sama, sehingga tidak mungkin dilakukan tarjih terhadap salah satu dari riwayat yang berbeda tersebut.



Hukum hadits mudhtharib adalah dha’if, karena terdapatnya perbedaan dan pertentangan dalam periwayatan hadits tersebut, yang hal ini merupakan indikasi bahwa perawinya tidak memiliki sifat dhabith. Sementara adanya sifat al-dhabith adalah merupakan syarat dari hadits shahih dan hasan.



7.      Hadits Mushahhaf



Secara stimologi, kata al-tashhif mengandung arti “kesalahan yang terjadi pada catatan atau pada bacaan terhadap suatu catatan”. Sedangkan pengertiannya secara terminologi adalah mengubah kalimat yang terdapat pada suatu hadits menjadi kalimat yang tidak diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah, baik secara lafadz maupun maknanya.



Sebagian ulama hadits lebih mepertegas definisi di atas dengan menjelaskan bentuk perubahan yang terjadi, yaitu perubahan satu huruf atau beberapa huruf dengan perubahan titik, sementara bentuk tulisannya tetap.



Hadits mushahhaf, jika dilihat dari tempat terjadinya, terbagi menjadi dua, yaitu :

a.       Tashhif pada sanad, yaitu perubahan yang ada pada sanad hadits, seperti hadits Syu’bah dari al-‘Awwam Ibn Murajim ditashhif oleh Yahya Ibn Ma’in dengan mengatakan dari al-‘Awwam Ibn muzahim. Perubahan terjadi pada kata murajim menjadi muzahim, yang dalam hal ini titik pada huruf jim pada kata murajim dipindahkan kepada huruf ra’nya, sehingga menjadi za’.



b.      Tashhif pada matan, yaitu perubahan yang terdapat pada matan hadits, seperti hadits Abu Syaibah al-Anshari, bahwasannya Nabi SAW bersabda : “man shama ramadhana wa atba’ahu sittan min syawwalin...”



Hadits ini ditashhif oleh Abu Bakar al-Shuli dengan mengatakan “man shama ramadhana wa atba’ahu syaian min syawwalin...” yaitu dengan mengubah sittan menjadi syai’an.



Sedangkan berdasarkan pada sumbernya, tashhif dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

a.       Tashhif bashar, yaitu keraguan yang terjadi pada penglihatan si pembaca (perawi) atas tulisan, karena buruk atau rusaknya tulisan tersebut, atau karena tidak ada titiknya. Umpamanya seperti pada contoh tashhif matan diatas ; perubahan kata sittan menjadi syai’an.

b.      Tashhif al-sama’ yaitu perubahan yang terjadi karena rusaknya pendengaran atau jauhnya tempat orang yang mendengar sehingga terjadi keraguan terhadap sebagian kata-kata yang mempunyai wazan sharaf seperti hadits yang diriwayatkan dari ‘Ashim al-Ahwal berubah menjadi Washil al-ahdab.(4)

________________________

(4) Mohammad Nor Ichwan. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Semarang: RaSAIL Media Group. 2013. Hlm. 222-244.





IV.        KEHUJJAHAN HADITS DHA’IF



Adapun tentang hadits dha’if, ada beberapa pendapat ulama tentang boleh atau tidaknya diamalkan, atau dijadikan hujjah, yakni :

1.      Hadits dha’if dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkenaan dengan masalah halal haram maupun yang berkenaan dengan masalah kewajiban, dengan syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampaikan oleh beberapa imam yang agung, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, dan sebagainya.



Pendapat ini tentunya berkenaan dengan hadits yang tidak terlalu dha’if, karena hadits yang sangat dha’if itu ditinggalkan oleh para ulama; disamping itu hadits yang dimaksud harus tidak bertentangan dengan hadits lain.



Seakan-akan arah pendapat ini adalah bahwa apabila suatu hadits dha’if dimungkinkan benar dan tidak bertentangan dengan teks dalil lainnya, maka segi kebenaran periwayatan hadits ini sangat kuat, sehingga dapat diamalkan.



Diriwayatkan oleh Ibnu Mandah bahwa ia mendengar Muhammad bin Sa’d al-Bawardi berkata, “diantara pendirian Abu Abdirrahman al-Nasa’i adalah mengeluarkan hadits dari setiap rawi yang tidak disepakati untuk ditinggalkan”. Ibnu Mandah juga berkata, “demikian pula Abu Dawud al-Sijistani, mengambil hadits sebagaimana pengambilan al-Nasa’i dan mencantumkan sanad yang dha’if apabila pada bab yang bersangkutan tidak ada hadits lain, karena hadits yang demikian lebih kuat dari pada pendapat ulama.



Berikut ini pendapat Imam Ahmad; ia berkata, “sesungguhnya hadits dha’if lebih saya senangi dari pada pendapat ulama, karena kita tidak boleh berpaling kepada qiyas kecuali setelah tidak ada nash”.



Sekelompok ulama lain menta’wilkan ucapan kedua Imam diatas bahwa yang mereka maksud adalah bukan pengertian dha’if yang telah dikenal, melainkan yang mereka maksudkan adalah hadits hasan, karena hadits hasan juga lemah dibandingkan hadits shahih.



Akan tetapi ta’wil ini bertentangan dengan ucapan Abu Dawud berikut ini, “sesungguhnya sebagian sanad hadits dalam kitab sunan-ku ini ada yang tidak bersambung, yaitu hadits mursal dan hadits mudallas. Hal itu terjadi ketika tidak dapat ditemukan hadits-hadits shahih pada umumnya ahli hadits pada arti muttashil. Hadits yang saya maksud adalah seperti al-Hasan dari Jabir, al-Hasan dari Abu Hurairah, dan al-Hakam dari Miqsam dari Ibnu Abbas...



Jadi Abu dawud menjadikan hadits yang yang tidak muttashil sebagai hadits yang patut diamalkan ketika tidak ada hadits shahih, padahal telah maklum bahwa hadits munqathi’ itu termasuk salah satu jenis hadits dha’if, bukan hadits hasan.



Disamping itu, kalaupun kata “dha’if’ dapat di ta’wilkan dengan “hasan”, maka tidak ada artinya para imam itu mengkhususkan hadits “dha’if” itu untuk diamalkan dan mendahulukannya dari pada qiyas karena demikianlah madzhab kebanyakan ulama.



2.      Dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadha’il al-a’mal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang dilarang. Demikian madzhab kebanyakan ulama dari kalangan muhadditsin, fuqaha, dan lainnya. Imam al-Nawawi, Seykh Ali al-Qari, dan Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa hal itu telah disepakati para ulama.



Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan dengan sangat baik bahwa syarat mengamlakan hadits dha’if itu ada tiga.

a.       Telah disepakati untuk diamalkan, yaitu hadits dha’if yang tidak terlalu dha’if sehingga tidak bisa diamalkan hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang pendusta atau dituduh dusta atau orang yang banyak salah.

b.      Hadits dha’if yang bersangkutan berada dibawah suatu dalil yang umum sehingga tidak dapat diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak memiliki dalil pokok.

c.       Ketika hadits dha’if yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas kepastian keberadaannya, untuk menghindari penyandaran kepada Nabi SAW sesuatu yang tidak beliau katakan.



Al-Hafidz al-Haitami membenarkan penggunaan dalil dengan hadits dha’if dalam beramal sehubungan dengan fadha’il al-a’mal. Untuk itu ia berkata, “para ulama sepakat untuk mengamalkan hadits dha’if sehubungan dengan fadha’il al-a’mal, karena seandainya hadits yang bersangkutan itu hakikatnya shahih maka sudah seharusnya ia diamalkan dan seandainya ia tidak shahih maka pengamalan terhadapnya itu tidak mengakibatkan mafsadah berupa menghalalkan hal yang haram, mengharamkan yang halal, dan menyia-nyiakan hak orang lain.



3.      Hadits dha’if sama sekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan dengan faha’il al-a’mal maupun yang berkaitan dengan halal haram. Pendapat ini dinisbahkan kepada Qadhi Abu Bakar Ibn al-‘Arabi. Demikian pula pendapat al-Syihab al-Khafaji dan al-Jalal al-Dawani. Pendapat ini dipilih oleh sebagian penulis dewasa ini dengan alasan bahwa fadha’il al-a’mal itu seperti fardhu dan haram, karena semuanya adalah syara’ dan karena pada hadits-hadits shahih dan hadits-hadits hasan terdapat jalan lain selain hadits-hadits dha’if.



Demikian pendapat para ulama sehubungan dengan pengamalan hadits dha’if. Dalam masalah ini terdapat banyak persoalan dan perdebatan, dan kami berharap dapat mengemukakannya dalam kesempatan lain. Namun sudah jelas bahwa pendapat yang kedua adalah pendapat yang paling moderat dan paling kuat. Karena bila kita perhatikan syarat-syarat pengamalan hadits dha’if yang ditetapkan oleh para ulama, maka kita akan tahu bahwa hadits dha’if yang kita bahas adalah hadits yang tidak ditegaskan sebagai hadits palsu, akan tetapi tidak dapat dipastikan kedudukannya yang sebenarnya, melainkan masih senantiasa serba mungkin; sedangkan kemungkinan itu akan menjadi kuat apabila tidak ada dalil yang bertentangan dengannya dan pada saat yang sama berada dibawah naungan dalil syara’ yang dapat diamalkan dan dijadikan sebagai sunnah diamalkan dan dapat diterima.



Adapun anggapan para penentang bahwa mengamalkan hadits dha’if dalam fadha’il al-a’mal itu berarti menciptakan ibadah dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah dalam agama, telah dijawab oleh para ulama bahwa kita dianjurkan berhati-hati dalam menjalankan urusan agama. Dan pengamalan hadits dha’if itu termasuk hal yang demikian; dan oleh karenanya tidak boleh menetapkan suatu hal dalam syara’ dengan hadits dha’if.



Menurut hemat kami bila kita perhatikan syarat-syarat pengamalan hadits dha’if diatas, maka akan kita dapatkan bahwa syarat-syarat itu menghilangkan anggapan bahwa pengamalan hadits hadits dha’if itu menetapkan syara’ baru. Para ulama mensyaratkan kandungan hadits dha’if itu harus berada dibawah suatu dalil syara’ yang umum dan sudah pasti keberadaannya, sehingga pokok pensyari’atannya ditetapkan dengan dalil syara’ yang umum tersebut dan hadits dha’if itu bersesuaian dengannya.



Contohnya adalah hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam kitab sunan-nya ; meriwayatkan kepada kami Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah, katanya: meriwayatkan kepada kami Muhammad bin al-Mushaffa, katanya: meriwayatkan kepada kami Baqiyyah bin al-Walid dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi’dan dari Abu Umamah dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda :



من قام ليلتي العيدين يحتسب لله لم يمت قلبه يوم تموت القلوب



Barang siapa berdiri mengerjakan shalat pada malam dua hari raya semata-mata karena Allah, maka tidak akan mati hatinya pada hari semua hati mati.



Para rawi sanad diatas adalah tsiqat. Hanya saja Tsaur bin Yazid dituduh sebagai berpaham Qadariyah namun dalam kesempatan ini ia meriwayatkan hadits yang tidak berkaitan dengan perilaku bid’ahnya itu sehingga tidak menghalangi kehujjahannya.

Muhammad bin Mushaffa adalah shaduq dan banyak haditsnya sehingga Ibnu Hajar menjulukinya sebagai seorang Hafidz. Al-Dzahabi berkata, “Ia adalah tsiqat dan masyhur. Akan tetapi, dalam beberapa riwayatnya terdapat banyak kemungkaran.



Dalam sanad hadits diatas terdapat Baqiyyah bin Walid. Ia adalah salah seorang Imam yang Hafidz. Ia adalah shaduq, akan tetapi ia banyak melakukan tadlis dari perawi yang dha’if dan Muslim meriwayatkan hadits darinya hanya sebagai mutaba’ah. Dalam kesempatan ini ia tidak menegaskan bahwa ia mendengar hadits tersebut secara langsung dari Tsaur bin Yazid dan karenanya hadits ini menjadi dha’if.



Para ulama berpendapat bahwa kita disunatkan menghidupkan malam dua hari raya dengan dzikir kepada Allah dan bentuk ketaatan yang lain atas dasar hadits dha’if diatas karena sebagaimana ditegaskan oleh al-Nawawi bahwa hadits tersebut dapat diamalkan sehubungan dengan fadha’il al-a’mal.



Disamping itu, telah kita ketahui shalat malam itu dianjurkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah yang mutawattir. Disamping itu, pendekatan diri kepada Allah dengan dzikir dan doa serta yang sejenisnya disenangi Allah dalam setiap waktu dan keadaan. Keumuman pernyataan itu mencakup dua malam hari raya yang memiliki keutamaan tersendiri.



Hal ini menunjukkan bahwa hadits itu tidak mensyari’atkan sesuatu yang baru, melainkan hadits itu datang sebagai petunjuk operasional bagi pokok syari’ah dan dalil-dalilnya yang umum; dan oleh karena itu sama sekali tidak dapat diragukan keharusan diamalkannya dan diikuti petunjuknya.(5)


 ________________________

(5)   Nuruddin ‘Itr. ‘Ulum Al-Hadits 2. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1997. Hlm. 56-61.





KESIMPULAN



Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan :

1.      Secara etimologi, term dha’if berasal dari kata dhu’fun yang berarti “lemah”, lawan dari term al-qawiy, yang berarti kuat. Dengan makna bahasa ini, maka yang dimaksud dengan hadits dha’if adalah hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.



Secara terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam merumuskannya. Namun demikian, secara substansial, kesemuanya memiliki persamaan arti, Imam al-Nawawi, misalnya, mendefinisikan hadits dha’if dengan “ hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan.



2.      Nur al-Din ‘Itr, merumuskan hadits dha’if dengan “hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul” (hadits yang shahih atau hadits yang hasan)



Berdasarkan definisi rumusan ‘Itr di atas, dapat dipahami bahwa hadits yang kehilangan salah satu syarat dari syarat-syarat hadits shahih atau hadits hasan, maka hadits tersebut dapat dikategorikan sebagai hadits dha’if. Artinya, jika salah satu syarat saja hilang, disebut hadits dha’if, lalu bagaimana jika yang hilang itu dua atau tiga syarat ? seperti, perawinya tidak adil, tidak dhabith, atau terdapat kejanggalan dalam matannya. Maka hadits yang demikian, tentu dapat dinyatakan sebagai hadits dha’if yang sangat lemah sekali.



3.      Berdasarkan penelitian para ulama hadits, bahwa kedha’ifan suatu hadits bisa terjadi pada tiga tempat, yaitu pada sanad, pada matan dan pada perawinya. Dari ketiga bagian ini, lalu mereka membagi hadits ke dalam beberapa macam hadits dha’if yang jumlahnya sangat banyak sekali.



4.      Adapun tentang hadits dha’if, ada beberapa pendapat ulama tentang boleh atau tidaknya diamalkan, atau dijadikan hujjah, yakni :

a.       Hadits dha’if dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkenaan dengan masalah halal haram maupun yang berkenaan dengan masalah kewajiban, dengan syarat tidak ada hadits lain yang menerangkannya. Pendapat ini disampaikan oleh beberapa imam yang agung, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, dan sebagainya.

b.      Dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadha’il al-a’mal, baik yang berkaitan dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang dilarang. Demikian madzhab kebanyakan ulama dari kalangan muhadditsin, fuqaha, dan lainnya. Imam al-Nawawi, Seykh Ali al-Qari, dan Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa hal itu telah disepakati para ulama.

c.       Hadits dha’if sama sekali tidak dapat diamalkan, baik yang berkaitan dengan faha’il al-a’mal maupun yang berkaitan dengan halal haram. Pendapat ini dinisbahkan kepada Qadhi Abu Bakar Ibn al-‘Arabi. Demikian pula pendapat al-Syihab al-Khafaji dan al-Jalal al-Dawani. Pendapat ini dipilih oleh sebagian penulis dewasa ini dengan alasan bahwa fadha’il al-a’mal itu seperti fardhu dan haram, karena semuanya adalah syara’ dan karena pada hadits-hadits shahih dan hadits-hadits hasan terdapat jalan lain selain hadits-hadits dha’if.





DAFTAR PUSTAKA



1.      Al-Albany, Muhammad Nashiruddin. 1999. Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal-Maudhu’ah wa Atsaruhas-Sayyi’ fil Ummah. Terj. A.M. Basalamah. Jakarta: Gema Insani Press.

2.      Agus Solahuddin, M, Suyadi, Agus. 2011. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka Setia.

3.      Ichwan, Mohammad Nor. 2013. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Semarang: RaSAIL Media Group.

4.      ‘Itr, Nuruddin. 1997. ‘Ulum Al-Hadits 2. Terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.



Sumber : tafsirhadits2012.blogspot

No comments:

Post a Comment