Tuesday, August 30, 2016

Makalah Tafsir Hadis " Taubat" -Tafsir Ayat Taubat

A.     PENDAHULUAN

Jika manusia ingin mengikuti jejak Rasulullah SAW, maka hendaklah ia mendekat (taqarub) pada Allah sebatas kemampuannya.
  
162. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(QS. Al-An’am : 6 : 162)

Jika manusia ingin masuk dalam makna Islam, maka bagaimana ia harus memulai?
Apa langkah pertamanya?
Bagaimana jalannya?
Lalu kemana ia pergi?
Buah apa yang diharapkannya?
Dan manfaat apa yang akan dihasilkannya setelah itu?
Haruslah ia memulai dengan masuk dalam aturan al-Qur’an al-Kariem!
Sedang masuk dalam al-Qur’an al-Kariem berarti ia bertekad meninggalkan segala yang tidak berasal dari al-Quran al-Kariem.
Hal inilah yang dinamakan istilah ke-Islam-an atau peraturan yang bersifat ke-Qur’an-an.
Dalam al-Qur’an Allah telah menyuruh bertaubat, kadang-kadang mewajibkannya.
Yang pasti bahwa taubat adalah batu pertama di jalan menuju Allah, dan merupakan penyerahan diri kepada Allah.
Abu Ya’qub Yusuf bin Hamdan As-Susiy – Semoga Allah merahmatinya mengatakan :
“kedudukan pertama dari orang-orang yang memusatkan diri dalam ibadah kepada Allah SWT adalah “Taubat”.”[1]

B.     POKOK PEMBAHASAN

1.      Hakikat dan Definisi Taubat
2.      Syarat-Syarat Taubat
3.      Kewajiban dan Keutamaan Taubat
4.  Perintah Bertaubat Dalam QS. At-Tahrim Ayat 8 Beserta Penafsirannya Menurut M. Quraish Shihab Dalam Kitab Tafsirnya Al-Mishbah
5.      Pembagian Manusia dari Segi Konsisten dalam Bertaubat Menurut Imam Al-Ghazali


PEMBAHASAN
1.      Hakikat dan Definisi Taubat

Ketahuilah bahwa taubat adalah pengertian yang menghimpun tiga komponen berikut.
a.       Ilmu
b.      Hal (kondisi)
c.       Amal Perbuatan

Komponen pertama (ilmu) akan menghasilkan komponen kedua (hal), dan komponen kedua (hal) akan menghasilkan komponen ketiga (amal).

Ilmu adalah mengetahui bahaya yang muncul dari dosa. Di sisi lain, dosa dapat menjadi hijab (penghalang) antara seorang hamba dan Penciptanya yang dicintai. Apabila seseorang telah mengetahui hal ini dengan penuh keyakinan di dalam hati, maka akan muncul rasa sedih ketika sesuatu yang dicintai hilang dari dirinya.

Apabila hati merasa kehilangan sesuatu, maka ia akan bersedih dan merasa sakit, apabila kehilangan itu disebabkan karena perbuatan, maka sakit yang disebabkan perbuatan itu dinamakan penyesalan (nadaman).

Apabila untuk mengobati rasa sakit itu hati ingin melakukan sesuatu untuk mengobatinya, maka hal itu dinamakan keinginan (qashad) dan kehendak (iradah) untuk melakukan suatu perbuatan, baik yang berkaitan dengan masa sekarang (hal), masa yang telah lalu (madhi) maupun masa yang akan datang (istiqbal). Adapun qashad dan iradah yang berkaitan dengan masa sekarang (hal) yaitu dengan meninggalkan perbuatan maksiat yang pernah dilakukannya, sedangkan yang berkaitan dengan masa yang akan datang (istiqbal) yaitu dengan berniat akan meninggalkan perbuatan maksiat hingga ia meninggal dunia. Yang berkaitan dengan masa lalu (madhi) yaitu dengan mengganti atau menqadha ibadah-ibadah yang ia tinggalkan pada masa lalu.

Semua ini harus diawali dengan Ilmu karena dengan ilmu akan membawa ke arah kebaikan, yaitu dengan melahirkan iman dan yaqin. Imam adalah mempercayai bahwa dosa merupakan racun yang menghancurkan, sedangkan yaqin adalah meyakinkan apa yang dpercayai dan menghilangkan keraguan bahwa dosa itu adalah racun yang menghancurkan. Pada akhirnya akan membuahkan cahaya hati yang dapat merasakan penyesalan atas kemaksiatan yang pernah dilakukannya dan merasakan bahwa kemaksiatan itu telah menjadikan hijab (penghalang) antara ia dan Allah Zat yang sangat dicintainya.

Taubat juga sering diartikan dengan penyesalan. Selanjutnya, buah dari penyesalan itu adalah meninggalkan apa yang membuatnya menyesal lalu mengganti dengan hal-hal yang tidak membuatnya menyesal. Rasulullah SAW bersabda :
“Penyesalan adalah taubat.” (Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Hakim)
Dengan pengertian ini dikatakan bahwa taubat adalah mencairkan apa yang ada di dalam hati karena kesalahan yang pernah dilakukan, hal ini terjadi karena semata-mata rasa sakit.

Dikatakan pula, “Taubat adalah api yang menyala di dalam hati.”
Dikatakan pula, “Taubat adalah melepaskan pakaian kepalsuan dan mengenakan pakaian kesetiaan.”

Sahal bin Abdillah at-Tastari berkata, “Taubat adalah mengganti perbuatan tercela dengan perbuatan terpuji. Hal ini tidak dapat terealisasi kecuali dengan menyendiri, diam, dan makan makanan yang halal.” Ia seakan-akan mendefinisikan taubat dengan makna ketiga (amal perbuatan)

Definisi taubat yang diberikan oleh para ulama sangat banyak sekali, akan tetapi dengan mengerti tiga makna taubat (ilmu, hal (kondisi), dan amal perbuatan), maka akan dapat mencakup seluruh definisi yang diberikan para ulama. Sesungguhnya mengetahui hakikat permasalahan lebih penting daripada mengetahui definisi-definisi secara tekstual.[2]

2.      Syarat-Syarat Taubat

Imam Nawawi dalam sebuah kitabnya “Riyadh al-Sholihin” mengatakan:
Para Ulama mengatakan: Taubat dari setiap dosa adalah wajib. Namun jika maksiat seorang hamba kepada Tuhannya (yang tidak ada kaitannya dengan manusia), maka taubatnya harus memenuhi 3 syarat berikut:
a.       Agar manusia meninggalkan maksiat itu.
b.      Agar manusia menyesali perbuatannya.
c.       Agar manusia bertekad untuk tidak akan mengulang kekeliruan untuk selama-lamanya.

Jika salah satu dari ketiga syarat ini tidak dipenuhi maka taubatnya tidak sah.

Dan apabila maksiat itu ada kaitannya dengan manusia maka syaratnya ada 4, yaitu sebagai berikut:
a.       Agar manusia meninggalkan maksiat itu.
b.      Agar manusia menyesali perbuatannya.
c.       Agar manusia bertekad untuk tidak akan mengulang kekeliruan untuk selama-lamanya.
d.      Agar manusia membersihkan diri dari hak orang lain.

Apabila berupa harta atau semacamnya maka ia harus mengembalikannya kepada pemiliknya. Apabila berupa hukum atau tuduhan berzina maka ia harus mematuhi hukumnya atau minta ampunan dsb.[3]

3.      Kewajiban dan Keutamaan Bertaubat

Ketahuilah bahwa kewajiban bertaubat sudah sangat jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits, di antaranya :

“…dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur : 31)

Ini merupakan perintah untuk bertaubat secara umum.

“ Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, “ (QS. At-Tahrim : 8)

            Arti Nashuhah adalah murni semata-mata karena Allah tanpa ada hal-hal yang mengotorinya.

Ayat Al-Qur’an yang menunjukkan tentang keutamaan taubat, diantaranya:
  
“…Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah : 222)

            Rasulullah SAW bersabda yang artinya :

“sesungguhnya Allah sangat berbabahagia dengan taubat seorang hamba yang mukmin daripada kebahagiaan seorang laki-laki ketika berada di daerah yang sangat berbahaya (tandus) bersama kudanya, dan ia membawa makan dan minuman yang diletakkan di atas kuda tersebut. Lalu ia meletakkan kepalanya ke tanah dan tidur dengan nyenyak, saat ia terbangun ternyata kudanya telah hilang (bersama perbekalannya) maka ia mencarinya sampai ia merasakan sangat panas dan kehausan serta penderitaan lainnya, lalu ia berkata, “Lebih baik aku kembali ke tempat tadi dan tidur sampai menunggu kematianku.” Maka diletakkan kepalanya diatas tangannya untuk menunggu kematian menjemputnya. Ketika terbangun, ia melihat kudanya beserta perbekalannya sudah kembali dan ada di hadapannya. Sesungguhnya kegembiraan Allah hamba-Nya bertaubat lebih besar dari pada kegembiraan orang yang kehilangan kudanya itu.” (HR. Bukhari Muslim)

            Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang itu sangat gembira sekali dan mengucapkan perkataan yang sebenarnya bertujuan untuk bersyukur kepada Allah, “Aku adalah Tuhan-Mu, dan engkau adalah hambaku.”[4]

4.      Perintah Bertaubat Dalam QS. At-Tahrim Ayat 8 Beserta Penafsirannya Menurut M. Quraish Shihab Dalam Kitab Tafsirnya Al-Mishbah

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”(QS. At-Tahrim: 8)

Tafsirannya

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya)”, sehingga mencakup masa lalu dengan menyesali dosa, masa kini dengan menghentikannya dan masa yang akan datang dengan tekad tidak melakukannya tidak pula ingin melakukannya. Jika taubat kamu seperti itu, pasti --- berdasar kemurahan Allah dan janji-Nya --- Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawah istana-istana dan pepohonan-pepohonan-Nya sungai-sungai.

Kata Nashuhan berarti yang bercirikan Nushh. Dari kata ini lahir kata nasihat, yaitu upaya untuk melakukan sesuatu­---baik perbuatan maupun ucapan---yang membawa manfaat untuk yang dinasihati. Kata ini juga bermakna tulus/ikhlas.

Taubat disifati dengan kata tersebut mengilustrasikan taubat itu sebagai sesuatu yang secara ikhlas menasihati seseorang agar ia tidak mengulangi kesalahannya. Karena taubat yang nashuh adalah yang pelakunya tidak terbetik lagi dalam benaknya keinginan untuk mengulangi perbuatannya karena setiap saat ia diingatkan dan dinasihati oleh taubatnya.

Menurut al-Qurthubi, taubat yang nashuh adalah yang memenuhi empat syarat, sbb:
a.       Istighfar dengan lisan,
b.      Meninggalkan dosa dengan anggota badan,
c.       Memantapkan niat untuk tidak mengulanginya,
d.      Dan meninggalkan semua teman buruk

Ada lagi yang berkata, taubat yang nashuh adalah yang menjadikan Anda menghadap Allah dengan wajah tanpa membelakangi-Nya sebagaimana ketika berbuat dosa, membelakangi-Nya tanpa sedikit pun menghadapkan wajah kepada-Nya.

Kata “asa” biasa digunakan dalam arti boleh jadi atau mudah-mudahan. Tetapi, bila ia dinisbatkan kepada Allah, ia mengandung makna kepastian. [5]

5.      Pembagian Manusia dari Segi Konsisten dalam Bertaubat Menurut Imam Al-Ghazali

Orang yang bertaubat dibagi menjadi empat tingkatan:
a.       Seseorang yang bertaubat dari kemaksiatannya dengan totalitas dan konsisten hingga ia meninggal dunia. Selain itu, ia membayar seluruh ibadah-ibadah yang ditinggalkannya, tidak tebersit sedikitpun di dalam hatinya untuk kembali kepada perbuatan maksiat, kecuali kemaksiatan yang tidak mungkin dihindari oleh manusia biasa dan hanya dapat dilakukan oleh para nabi saja. Inilah yang disebut dengan istiqamah dalam bertaubat. Taubat seperti ini disebut taubat nasuha, yaitu seorang yang bersungguh-sungguh melakukan kebaikan dan mengganti perbuatan jeleknya dengan perbuatan baik. Sedangkan nafsu yang dimilikinya disebut dengan an-nafsul muthma’innah, yang akan kembali kepada Allah dengan penuh keridhaan.
b.      Seseorang yang bertaubat dengan konsisten mengerjakan ibadah-ibadah yang wajib dan meninggalkan dosa-dosa besar. Akan tetapi, ia terkadang masih tergelincir dalam perbuatan dosa yang bukan didasari kesengajaan dan bukan pula ada keinginan untuk melakukannya, melainkan dorongan atas gejolak dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Ia sendiri sangat mencela perbuatan itu dan terus memohon kepada Allah untuk menjauhkan dirinya dari perbuatan tersebut. Nafsu yang dimilikinya disebut an-nafsul al-lawwamah, yaitu mencela perbuatan maksiat yang ia lakukan tanpa sengaja. Tingkatan ini termasuk tingkatan yang tinggi meskipun berada dibawah tingkatan pertama. Tingkatan ini yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang bertaubat. Hal itu karena kemaksiatan yang dilakukan telah menyatu di dalam kehidupannya, sehingga sulit untuk melepasnya secara total. Oleh karena itu, ia harus memperbanyak melakukan kebaikan agar timbangan (mizan) kebaikannya lebih berat daripada dosanya.
c.       Seseorang yang bertaubat dengan konsisten dalam beberapa lama, akan tetapi dalam perjalanannya, ia kadang dikalahkan oleh syahwat, sehingga melakukan perbuatan dosa dengan sengaja. Meskipun begitu, ia tetap berusaha untuk mengerjakan ketaatan dan meninggalkan perbuatan dosa walaupun ia dapat melakukannya (perbuatan dosa), serta mengalahkan syahwatnya. Ia sangat berharap agar diberikan kekuatan oleh Allah untuk melepaskan dirinya dari pengaruh syahwat, misalnya dengan mengucapkan , “sekiranya saya tidak melakukan perbuatan itu, saya akan benar-benar bertaubat dan berusaha (mujahadah) mengalahkan syahwat.” Akan tetapi syahwat selalu menggodanya dan mengajaknya untuk menunda-nunda taubat. Syahwat seperti ini disebut an-nafsu al-musawwilah (nafsu yang selalu menggoda)
d.      Seseorang yang bertaubat hanya sesaat kemudian lalu kembali lagi melakukan kemaksiatan, tanpa ada keinginan lagi untuk bertaubat atau tidak ada perasaan bersalah dan menyesal atas perbuatan yang dikerjakannya, akan tetapi ia telah tenggelam dalam kenikmatan syahwatnya. Orang seperti ini digolongkan mushirrin (orang yang selalu melakukan dosa). Nafsu ini disebut dengan an-nafsu al-amarah bi as-su’ (nafsu yang selalu mengajak kepada perbuatan maksiat). Orang seperti ini ditakutkan akan meninggal dunia dalam keadaan su’ul khatimah. Meskipun semua ini dikembalikan kepada Allah.

Mungkin saja Allah memberikan hidayah kepadanya sehingga ia meninggal dalam ketaatan da ketauhidan lalu terhindar dari siksa api neraka. Semua ini tidaklah musathil karena mungkin saja ia pernah melakukan suatu perbuatan baik sehingga Allah memberikan hidayah dan ampunan kepadanya sebelum ia meninggal dunia. Atau juga Allah membiarkannya tenggelam dalam kemaksiatannya hingga ia meninggal dalam su’ul khatimah.[6]


KESIMPULAN

                        Dari uraian di atas dapat di ambil kesimpulan sbb:

Ø  Taubat memiliki arti: berhenti melakukan kemaksiatan dan kembali menuju ketaatan.
Ø  Taubat adalah amalan yang sangat dicintai Allah SWT

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah : 222)

Ø  Taubat hukumnya wajib atas setiap mukmin

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sunga” (QS. At-Tahrim: 8)

Ø  Taubat bisa mendatangkan kemenangan

“dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur : 31)

Ø  Menurut al-Qurthubi, taubat yang nashuh adalah yang memenuhi empat syarat, sbb:

a.       Istighfar dengan lisan,
b.      Meninggalkan dosa dengan anggota badan,
c.       Memantapkan niat untuk tidak mengulanginya,
d.      Dan meninggalkan semua teman buruk




DAFTAR PUSTAKA

1.      Mahmoud, Abdul Halim. 1999. Hal Ihwal Tasauf : Analisa Tentang Al-Munqidz Min al-Dhalal. Jakarta : Daarul Ihya.
2.      Hawwa, Sa’id. 2005. Tazkiyatun Nafs : Intisari Ihya Ulumuddin. Terj. Tim Kuwais : Abdul Amin, Lc, dkk. Jakarta : Darus Salam.
3.      Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta : Lentera Hati.




[1] Dr. Abdul Halim Mahmoud. Hal Ihwal Tasauf : Analisa Tentang Al-Munqidz Min al-Dhalal. Jakarta : Darul Ihya. 1999. Hlm. 228.

[2] Sa’id Hawwa. Tazkiyatun Nafs : Intisari Ihya Ulumuddin. Terj. Tim Kuwais : Abdul Amin, Lc, dkk. Jakarta : Darus Salam. 2005. Hlm.
[3]Dr. Abdul Halim Mahmoud. Op.cit. Hlm. 233-234.
[4] Sa’id Hawwa. Op.cit. hlm. 416-417.
[5] M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 14. Jakarta : Lentera Hati. 2002. Hlm.  178-180.

[6] Sa’id Hawwa. Op.cit. hlm. 427-430.
 
Sumber : tafsirhadits2012.blogspot

No comments:

Post a Comment