Jika manusia ingin mengikuti
jejak Rasulullah SAW, maka hendaklah ia mendekat (taqarub) pada Allah sebatas
kemampuannya.
162. Katakanlah: Sesungguhnya
sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam.(QS. Al-An’am : 6 : 162)
Jika manusia ingin masuk dalam
makna Islam, maka bagaimana ia harus memulai?
Apa langkah pertamanya?
Bagaimana jalannya?
Lalu kemana ia pergi?
Buah apa yang diharapkannya?
Dan manfaat apa yang akan
dihasilkannya setelah itu?
Haruslah ia memulai dengan masuk
dalam aturan al-Qur’an al-Kariem!
Sedang masuk dalam al-Qur’an
al-Kariem berarti ia bertekad meninggalkan segala yang tidak berasal dari
al-Quran al-Kariem.
Hal inilah yang dinamakan istilah
ke-Islam-an atau peraturan yang bersifat ke-Qur’an-an.
Dalam al-Qur’an Allah telah
menyuruh bertaubat, kadang-kadang mewajibkannya.
Yang pasti bahwa taubat adalah
batu pertama di jalan menuju Allah, dan merupakan penyerahan diri kepada Allah.
Abu Ya’qub Yusuf bin Hamdan
As-Susiy – Semoga Allah merahmatinya mengatakan :
“kedudukan
pertama dari orang-orang yang memusatkan diri dalam ibadah kepada Allah SWT
adalah “Taubat”.”[1]
B.
POKOK PEMBAHASAN
1.
Hakikat dan Definisi Taubat
2.
Syarat-Syarat Taubat
3.
Kewajiban dan Keutamaan Taubat
4. Perintah Bertaubat Dalam QS. At-Tahrim Ayat 8
Beserta Penafsirannya Menurut M. Quraish Shihab Dalam Kitab Tafsirnya
Al-Mishbah
5.
Pembagian Manusia dari Segi Konsisten dalam
Bertaubat Menurut Imam Al-Ghazali
PEMBAHASAN
1.
Hakikat dan
Definisi Taubat
Ketahuilah bahwa taubat adalah pengertian
yang menghimpun tiga komponen berikut.
a.
Ilmu
b.
Hal (kondisi)
c.
Amal Perbuatan
Komponen pertama (ilmu) akan
menghasilkan komponen kedua (hal), dan komponen kedua (hal) akan menghasilkan
komponen ketiga (amal).
Ilmu adalah mengetahui bahaya
yang muncul dari dosa. Di sisi lain, dosa dapat menjadi hijab (penghalang)
antara seorang hamba dan Penciptanya yang dicintai. Apabila seseorang telah
mengetahui hal ini dengan penuh keyakinan di dalam hati, maka akan muncul rasa
sedih ketika sesuatu yang dicintai hilang dari dirinya.
Apabila hati merasa kehilangan
sesuatu, maka ia akan bersedih dan merasa sakit, apabila kehilangan itu
disebabkan karena perbuatan, maka sakit yang disebabkan perbuatan itu dinamakan
penyesalan (nadaman).
Apabila untuk mengobati rasa
sakit itu hati ingin melakukan sesuatu untuk mengobatinya, maka hal itu
dinamakan keinginan (qashad) dan
kehendak (iradah) untuk melakukan
suatu perbuatan, baik yang berkaitan dengan masa sekarang (hal), masa yang telah lalu (madhi)
maupun masa yang akan datang (istiqbal). Adapun
qashad dan iradah yang berkaitan dengan masa sekarang (hal) yaitu dengan meninggalkan perbuatan maksiat yang pernah
dilakukannya, sedangkan yang berkaitan dengan masa yang akan datang (istiqbal) yaitu dengan berniat akan
meninggalkan perbuatan maksiat hingga ia meninggal dunia. Yang berkaitan dengan
masa lalu (madhi) yaitu dengan
mengganti atau menqadha ibadah-ibadah yang ia tinggalkan pada masa lalu.
Semua ini harus diawali dengan
Ilmu karena dengan ilmu akan membawa ke arah kebaikan, yaitu dengan melahirkan iman dan yaqin. Imam adalah
mempercayai bahwa dosa merupakan racun yang menghancurkan, sedangkan yaqin adalah meyakinkan apa yang
dpercayai dan menghilangkan keraguan bahwa dosa itu adalah racun yang
menghancurkan. Pada akhirnya akan membuahkan cahaya hati yang dapat merasakan
penyesalan atas kemaksiatan yang pernah dilakukannya dan merasakan bahwa
kemaksiatan itu telah menjadikan hijab
(penghalang) antara ia dan Allah Zat yang sangat dicintainya.
Taubat juga sering diartikan
dengan penyesalan. Selanjutnya, buah dari penyesalan itu adalah meninggalkan
apa yang membuatnya menyesal lalu mengganti dengan hal-hal yang tidak
membuatnya menyesal. Rasulullah SAW bersabda :
“Penyesalan
adalah taubat.” (Ibnu
Majah, Ibnu Hibban, dan Hakim)
Dengan pengertian ini dikatakan
bahwa taubat adalah mencairkan apa yang ada di dalam hati karena kesalahan yang
pernah dilakukan, hal ini terjadi karena semata-mata rasa sakit.
Dikatakan pula, “Taubat adalah
api yang menyala di dalam hati.”
Dikatakan pula, “Taubat adalah
melepaskan pakaian kepalsuan dan mengenakan pakaian kesetiaan.”
Sahal bin Abdillah at-Tastari
berkata, “Taubat adalah mengganti perbuatan tercela dengan perbuatan terpuji.
Hal ini tidak dapat terealisasi kecuali dengan menyendiri, diam, dan makan
makanan yang halal.” Ia seakan-akan mendefinisikan taubat dengan makna ketiga
(amal perbuatan)
Definisi taubat yang diberikan
oleh para ulama sangat banyak sekali, akan tetapi dengan mengerti tiga makna
taubat (ilmu, hal (kondisi), dan amal perbuatan), maka akan dapat mencakup
seluruh definisi yang diberikan para ulama. Sesungguhnya mengetahui hakikat
permasalahan lebih penting daripada mengetahui definisi-definisi secara
tekstual.[2]
2.
Syarat-Syarat
Taubat
Imam Nawawi dalam sebuah kitabnya
“Riyadh al-Sholihin” mengatakan:
Para Ulama mengatakan: Taubat
dari setiap dosa adalah wajib. Namun jika maksiat seorang hamba kepada Tuhannya
(yang tidak ada kaitannya dengan manusia), maka taubatnya harus memenuhi 3
syarat berikut:
a.
Agar manusia meninggalkan maksiat itu.
b.
Agar manusia menyesali perbuatannya.
c.
Agar manusia bertekad untuk tidak akan mengulang
kekeliruan untuk selama-lamanya.
Jika
salah satu dari ketiga syarat ini tidak dipenuhi maka taubatnya tidak sah.
Dan apabila maksiat itu ada
kaitannya dengan manusia maka syaratnya ada 4, yaitu sebagai berikut:
a.
Agar manusia meninggalkan maksiat itu.
b.
Agar manusia menyesali perbuatannya.
c.
Agar manusia bertekad untuk tidak akan mengulang
kekeliruan untuk selama-lamanya.
d.
Agar manusia membersihkan diri dari hak orang lain.
Apabila berupa harta atau
semacamnya maka ia harus mengembalikannya kepada pemiliknya. Apabila berupa
hukum atau tuduhan berzina maka ia harus mematuhi hukumnya atau minta ampunan
dsb.[3]
3.
Kewajiban dan Keutamaan
Bertaubat
Ketahuilah bahwa kewajiban
bertaubat sudah sangat jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits, di antaranya :
“…dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS.
An-Nur : 31)
Ini merupakan perintah untuk
bertaubat secara umum.
“ Hai orang-orang yang beriman,
bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang
semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, “ (QS. At-Tahrim : 8)
Arti Nashuhah adalah murni semata-mata karena Allah
tanpa ada hal-hal yang mengotorinya.
Ayat Al-Qur’an yang menunjukkan
tentang keutamaan taubat, diantaranya:
“…Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah : 222)
Rasulullah
SAW bersabda yang artinya :
“sesungguhnya
Allah sangat berbabahagia dengan taubat seorang hamba yang mukmin daripada
kebahagiaan seorang laki-laki ketika berada di daerah yang sangat berbahaya
(tandus) bersama kudanya, dan ia membawa makan dan minuman yang diletakkan di
atas kuda tersebut. Lalu ia meletakkan kepalanya ke tanah dan tidur dengan
nyenyak, saat ia terbangun ternyata kudanya telah hilang (bersama
perbekalannya) maka ia mencarinya sampai ia merasakan sangat panas dan kehausan
serta penderitaan lainnya, lalu ia berkata, “Lebih baik aku kembali ke tempat
tadi dan tidur sampai menunggu kematianku.” Maka diletakkan kepalanya diatas
tangannya untuk menunggu kematian menjemputnya. Ketika terbangun, ia melihat
kudanya beserta perbekalannya sudah kembali dan ada di hadapannya. Sesungguhnya
kegembiraan Allah hamba-Nya bertaubat lebih besar dari pada kegembiraan orang yang
kehilangan kudanya itu.” (HR.
Bukhari Muslim)
Di
dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang itu sangat gembira sekali dan
mengucapkan perkataan yang sebenarnya bertujuan untuk bersyukur kepada Allah,
“Aku adalah Tuhan-Mu, dan engkau adalah hambaku.”[4]
4.
Perintah Bertaubat
Dalam QS. At-Tahrim Ayat 8 Beserta Penafsirannya Menurut M. Quraish Shihab
Dalam Kitab Tafsirnya Al-Mishbah
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan
menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir
di bawahnya sungai-sungai”(QS.
At-Tahrim: 8)
Tafsirannya
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan
nasuhaa (taubat yang semurni-murninya)”, sehingga mencakup masa lalu dengan
menyesali dosa, masa kini dengan menghentikannya dan masa yang akan datang
dengan tekad tidak melakukannya tidak pula ingin melakukannya. Jika taubat kamu
seperti itu, pasti --- berdasar
kemurahan Allah dan janji-Nya --- Mudah-mudahan
Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah
yang mengalir di bawah istana-istana dan pepohonan-pepohonan-Nya sungai-sungai.
Kata Nashuhan berarti yang bercirikan Nushh. Dari kata ini lahir kata nasihat, yaitu upaya untuk
melakukan sesuatu---baik perbuatan maupun ucapan---yang membawa manfaat untuk
yang dinasihati. Kata ini juga bermakna tulus/ikhlas.
Taubat disifati dengan kata
tersebut mengilustrasikan taubat itu sebagai sesuatu yang secara ikhlas
menasihati seseorang agar ia tidak mengulangi kesalahannya. Karena taubat yang nashuh adalah yang pelakunya tidak
terbetik lagi dalam benaknya keinginan untuk mengulangi perbuatannya karena
setiap saat ia diingatkan dan dinasihati oleh taubatnya.
Menurut al-Qurthubi, taubat yang nashuh adalah yang memenuhi empat
syarat, sbb:
a.
Istighfar dengan lisan,
b.
Meninggalkan dosa dengan anggota badan,
c.
Memantapkan niat untuk tidak mengulanginya,
d.
Dan meninggalkan semua teman buruk
Ada lagi yang berkata, taubat
yang nashuh adalah yang menjadikan
Anda menghadap Allah dengan wajah tanpa membelakangi-Nya sebagaimana ketika
berbuat dosa, membelakangi-Nya tanpa sedikit pun menghadapkan wajah kepada-Nya.
Kata “asa” biasa digunakan dalam arti boleh jadi atau mudah-mudahan.
Tetapi, bila ia dinisbatkan kepada Allah, ia mengandung makna kepastian. [5]
5.
Pembagian Manusia
dari Segi Konsisten dalam Bertaubat Menurut Imam Al-Ghazali
Orang yang bertaubat dibagi
menjadi empat tingkatan:
a.
Seseorang yang bertaubat dari kemaksiatannya dengan
totalitas dan konsisten hingga ia meninggal dunia. Selain itu, ia membayar
seluruh ibadah-ibadah yang ditinggalkannya, tidak tebersit sedikitpun di dalam
hatinya untuk kembali kepada perbuatan maksiat, kecuali kemaksiatan yang tidak
mungkin dihindari oleh manusia biasa dan hanya dapat dilakukan oleh para nabi
saja. Inilah yang disebut dengan istiqamah dalam bertaubat. Taubat seperti ini
disebut taubat nasuha, yaitu seorang yang bersungguh-sungguh melakukan kebaikan
dan mengganti perbuatan jeleknya dengan perbuatan baik. Sedangkan nafsu yang
dimilikinya disebut dengan an-nafsul
muthma’innah, yang akan kembali kepada Allah dengan penuh keridhaan.
b.
Seseorang yang bertaubat dengan konsisten
mengerjakan ibadah-ibadah yang wajib dan meninggalkan dosa-dosa besar. Akan
tetapi, ia terkadang masih tergelincir dalam perbuatan dosa yang bukan didasari
kesengajaan dan bukan pula ada keinginan untuk melakukannya, melainkan dorongan
atas gejolak dosa-dosa yang pernah ia lakukan. Ia sendiri sangat mencela
perbuatan itu dan terus memohon kepada Allah untuk menjauhkan dirinya dari
perbuatan tersebut. Nafsu yang dimilikinya disebut an-nafsul al-lawwamah, yaitu
mencela perbuatan maksiat yang ia lakukan tanpa sengaja. Tingkatan ini termasuk
tingkatan yang tinggi meskipun berada dibawah tingkatan pertama. Tingkatan ini
yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang bertaubat. Hal itu karena
kemaksiatan yang dilakukan telah menyatu di dalam kehidupannya, sehingga sulit
untuk melepasnya secara total. Oleh karena itu, ia harus memperbanyak melakukan
kebaikan agar timbangan (mizan) kebaikannya lebih berat daripada dosanya.
c.
Seseorang yang bertaubat dengan konsisten dalam
beberapa lama, akan tetapi dalam perjalanannya, ia kadang dikalahkan oleh
syahwat, sehingga melakukan perbuatan dosa dengan sengaja. Meskipun begitu, ia
tetap berusaha untuk mengerjakan ketaatan dan meninggalkan perbuatan dosa
walaupun ia dapat melakukannya (perbuatan dosa), serta mengalahkan syahwatnya.
Ia sangat berharap agar diberikan kekuatan oleh Allah untuk melepaskan dirinya
dari pengaruh syahwat, misalnya dengan mengucapkan , “sekiranya saya tidak
melakukan perbuatan itu, saya akan benar-benar bertaubat dan berusaha
(mujahadah) mengalahkan syahwat.” Akan tetapi syahwat selalu menggodanya dan
mengajaknya untuk menunda-nunda taubat. Syahwat seperti ini disebut an-nafsu
al-musawwilah (nafsu yang selalu menggoda)
d.
Seseorang yang bertaubat hanya sesaat kemudian lalu
kembali lagi melakukan kemaksiatan, tanpa ada keinginan lagi untuk bertaubat
atau tidak ada perasaan bersalah dan menyesal atas perbuatan yang
dikerjakannya, akan tetapi ia telah tenggelam dalam kenikmatan syahwatnya.
Orang seperti ini digolongkan mushirrin (orang yang selalu melakukan dosa).
Nafsu ini disebut dengan an-nafsu al-amarah bi as-su’ (nafsu yang selalu
mengajak kepada perbuatan maksiat). Orang seperti ini ditakutkan akan meninggal
dunia dalam keadaan su’ul khatimah. Meskipun semua ini dikembalikan kepada
Allah.
Mungkin
saja Allah memberikan hidayah kepadanya sehingga ia meninggal dalam ketaatan da
ketauhidan lalu terhindar dari siksa api neraka. Semua ini tidaklah musathil
karena mungkin saja ia pernah melakukan suatu perbuatan baik sehingga Allah
memberikan hidayah dan ampunan kepadanya sebelum ia meninggal dunia. Atau juga
Allah membiarkannya tenggelam dalam kemaksiatannya hingga ia meninggal dalam
su’ul khatimah.[6]
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat di
ambil kesimpulan sbb:
Ø Taubat
memiliki arti: berhenti melakukan kemaksiatan dan kembali menuju ketaatan.
Ø Taubat
adalah amalan yang sangat dicintai Allah SWT
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah : 222)
Ø Taubat
hukumnya wajib atas setiap mukmin
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan
menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir
di bawahnya sungai-sunga” (QS.
At-Tahrim: 8)
Ø Taubat bisa
mendatangkan kemenangan
“dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang
yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS.
An-Nur : 31)
Ø Menurut
al-Qurthubi, taubat yang nashuh
adalah yang memenuhi empat syarat, sbb:
a.
Istighfar dengan lisan,
b.
Meninggalkan dosa dengan anggota badan,
c.
Memantapkan niat untuk tidak mengulanginya,
d.
Dan meninggalkan semua teman buruk
DAFTAR PUSTAKA
1. Mahmoud,
Abdul Halim. 1999. Hal Ihwal Tasauf :
Analisa Tentang Al-Munqidz Min al-Dhalal. Jakarta : Daarul Ihya.
2. Hawwa,
Sa’id. 2005. Tazkiyatun Nafs : Intisari
Ihya Ulumuddin. Terj. Tim Kuwais : Abdul Amin, Lc, dkk. Jakarta : Darus
Salam.
3. Shihab, M.
Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah :
Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta : Lentera Hati.
[1]
Dr.
Abdul Halim Mahmoud. Hal Ihwal Tasauf :
Analisa Tentang Al-Munqidz Min al-Dhalal. Jakarta : Darul Ihya. 1999. Hlm.
228.
[2]
Sa’id Hawwa. Tazkiyatun Nafs : Intisari
Ihya Ulumuddin. Terj. Tim Kuwais : Abdul Amin, Lc, dkk. Jakarta : Darus
Salam. 2005. Hlm.
[3]Dr.
Abdul Halim Mahmoud. Op.cit. Hlm. 233-234.
[4] Sa’id Hawwa. Op.cit. hlm.
416-417.
[5]
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah :
Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 14. Jakarta : Lentera Hati.
2002. Hlm. 178-180.
No comments:
Post a Comment